Rujak Soto Banyuwangi
Rujak cingur sudah biasa, soto babat pun sudah sering terdengar. Rujak soto? Nah, mungkin masih banyak yang masih asing. Rujak soto semacam paduan rujak cingur dan soto babat. Ini kuliner khas Banyuwangi. Erry Yuni Indrayanti (61) membawanya ke Surabaya tahun 1998, dan membuka depot makan Rujak Soto Banyuwangi di Jalan Ngagel Jaya Barat.
Konon, riwayatnya orang makan rujak cingur suka seret di tenggorokan. Biar ada kuahnya, diguyur kuah soto babat. Jadilah, kuliner "baru" yang punya cita rasa khas. "Begitulah riwayat yang beredar, enggak tahu benar atau tidak," kata Oky Handoyo (33), anak sulung Erry, yang membantu usaha ibunya.
Dua kubu kuliner ini tak serta-merta bergabung, ada proses modifikasi yang terjadi. Rujak cingur pakai petis udang, rujak soto menggunakan petis ikan. Tak seperti rujak cingur, menu akulturasi ini hanya menggunakan sayur kangkung, tauge, dan mentimun, tidak pakai buah lain. Cingur (bagian wajah sapi) juga tak dipakai karena sudah ada babat. "Satu lagi, rujak soto tidak menggunakan pisang batu," lanjut Oky.
Selebihnya, proses pembuatannya hampir sama. Bumbu kacang, gula merah, petis ikan, sedikit garam dan cabai diulek. Bumbu ini lalau dicampur kangkung, tauge, dan idealnya pakai lontong. "Lalu diguyur dengan kuah soto babat. "Rasanya memang khas. Biar enak, babatnya harus empuk betul."
Lewat dari mulut ke mulut, lama-kelamaan warga Surabaya mengetahui munculnya rujak soto yang buka pagi sampai jam 5 sore. Para pemburu kuliner, tak akan segan mencoba. "Sampai tahun 2001, ada media yang menulis soal rujak soto. Ternyata, imbasnya luar biasa. Depot makan kami jadi penuh terus, sampai sekarang pembelinya sudah stabil," papar Oky.
Dari empat karyawan, kini Erry Yuni sudah memiliki 12 karyawan. "Beberapa kali kami juga diundang ikut festival makanan di berbagai mal di Surabaya. Pernah juga ikut acara serupa di Bandung. Wah, stan kami padat banget. Rupanya, banyak orang penasaran dan ingin mencoba. Ternyata, makanan ini juga cocok buat orang Bandung," papar Oky.
Selain rujak soto, ada juga menu pendamping aneka rujak seperti rujak manis, rujak dehem, rujak cingur. "Harganya sama, masing-masing per porsi Rp 13 ribu. Di antara semua menu, yang dicari tetap rujak soto." Ya, rujak soto ikut memperkaya khasanah kuliner di Jawa Timur.
Namanya sate kelopo atau sate kelapa, tapi sebenarnya ini sate daging sapi, salah satu sajian khas Madura. Yang paling ngetop adalah Sate Kelopo Ondomohen Bu Asih. "Saya meneruskan usaha ibu, sekitar 24 tahun lalu. Sate kelopo memang makanan khas Madura. Sate sapi ini dilumuri parutan kelapa, kemudian dibakar," kata Hj. Asih Sudarmi (54).
Pembeli bisa memilih disajikan dengan nasi atau lontong. Ciri khas lain, nasinya ditaburi poya, semacam serundeng. Bedanya, setelah disangrai, parutan kelapa ini ditumbuk lagi sampai halus. "Rasanya asin, beda dengan serundeng yang biasanya manis," jelas Asih.
Ketika pertama kali berjualan, "Tempatnya masih sederhana. Tidak ada kios dan tenda. Pembeli cukup saya kasih kursi, tidak seperti rumah makan yang perlu meja dan kursi," kata Asih yang lokasi jualannya cukup strategis, berada di mulut Gang Ondomohen, berhadapan dengan Jalan Wali Kota Mustajab. "Makanya, saya beri nama Sate Kelopo Ondomohen.
Awalnya, Asih hanya perlu 2,5 kg daging sapi, per kilo bisa menjadi 100 tusuk. Buka pagi sampai siang. "Orang memang sudah tahu ibu saya jualan sate, tapi begitu saya yang menggantikan, ada yang ragu. Jangan-jangan, satenya tidak seenak olahan ibu," kenangnya.
Namun, olahan Asih justru digandrungi masyarakat. "Ada pembeli protes, sudah jauh-jauh ke sini, sate sudah habis. Agar pelanggan tidak kecewa, saya menambah jumlah sate. Jam buka pun bertambah."
Ada 3 menu sate yang disajikan Asih. Sate kelopo daging campur lemak seharga Rp 15 ribu, sate daging atau campur jeroan seharga Rp 16 ribu, dan sate sumsum harganya Rp 17 ribu. Dengan uang 20 ribu, sudah bisa menikmati sate kelopo, nasi putih, dan segelas minuman. Namun, banyak pembeli yang tak puas hanya makan di situ. "Banyak yang pulangnya juga minta bungkus. Tidak sedikit yang bungkus sampai ratusan tusuk. Mungkin buat acara khusus."
Di saat lain, Asih juga kerap menerima pesanan untuk pesta. Asih sendiri yang hingga kini masih turun tangan mengolah sate, sementara warung dijaga putri tunggalnya. "Saya dan anak bergantian jaga warung, biar bisa istirahat. Nanti usaha ini bakal diteruskan anak saya," katanya seraya mengenang, Gus Dur juga pernah mencicipi satenya semasa menjabat presiden.
Asih bersyukur, usahanya berjalan lancar. Bahkan, tahun lalu ia salah satu penerima penghargaan Wanita Sukes Jawa Timur. Dari usahanya pula, ia dan keluarganya bisa berangkat haji. Sebagai wujud rasa syukurnya, hampir setahun ini ia menyediakan ambulans gratis bagi masyarakat tidak mampu. "Suami saya, Saluki, yang punya ide. Siapa saja boleh pakai. Kalau tidak mampu, semuanya gratis. Kalau ada yang mampu, cukup ganti uang bensin. Selama ini, sudah banyak yang menggunakan ambulans ini," katanya penuh rasa syukur.
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR