BADUT "Berseragam Polisi"
Yang dilakoni AKP. Dina Hadi Pareira (52) tergolong unik. Ibu dua anak ini memiliki dua profesi yang sangat berseberangan. Di satu sisi, ia perwira polisi (Polwan), namun di sisi lain, ia juga seorang badut yang kerap menghibur berbagai kalangan.
Sebagai anggota polisi, sehari-hari Dina tentu harus selalu berpakaian lengkap dengan atribut dinas yang membuat dirinya tampak berwibawa ketika terjun di tengah masyarakat. Sebaliknya, ketika ia sedang "berperan" sebagai badut, Dian dituntut untuk bisa melucu dan mengubah penampilan. Mulai dari make-up wajah hingga pakaian yang dikenakan.
"Menjalani kedua profesi ini sangat mengasyikkan. Sama-sama berkarakter kuat," ungkap Dina. Untuk memperkaya penampilannya sebagai badut, Kanit Binluh (Pembinaan dan Penyuluhan) Polrestabes Surabaya ini juga pandai bermain sulap, bahkan ia tengah memperdalam ilmu hipnosis untuk semakin melengkapi keahliannya.
Dina yang baru setahun menjalani profesi sebagai badut ini kerap tampil di berbagai acara anak, kegiatan sosial, dan sejumlah perusahaan di Surabaya. "Saya akan kembangkan terus keahlian. Sebab, saya juga ingin sekaligus menyampaikan pesan moral ke masyarakat," papar wanita yang memang gemar melucu dan sangat ingin berkolaborasi dengan kelompok topeng monyet.
Lantas, mengapa Dina memilih jadi badut? Awalnya, di tahun 2006 ia pernah mendampingi anak bungsunya, Nita Bonita Peirera (16), yang sering mendapat undangan tampil menyanyi. Ketika menyanyi, kata Dina, putrinya terkadang tampil kaku atau "demam panngung."
"Daripada repot kasih aba-aba dari bawah panggung, saya ikut naik panggung, tapi pakai kostum badut agar tertutup. Di atas panggung, saya ikut joged-joged. Akhirnya, Nita jadi lebih percaya diri," ujar Dina yang sebelum bertugas di Polrestabes sempat menjabat Kanitlantas Polsek Rungkut, Surabaya dan Provost Polda Jatim.
Namun, ketika itu Dina belum menjadikan badut sebagai profesi sampingan. Ia baru menjadi badut profesional pada 2009, tanpa sengaja. Suatu ketika, ia diundang sepupunya, Eva Nurida, istri pesepak bola nasional, Christian Gonzales, untuk hadir di acara ulang tahun anak mereka. Ketika itu, Eva akan mendatangkan badut dari Hotel Shangrilla.
Tanpa sepengetahuan siapapun, Dina menghubungi badut Shangrilla dan minta bergabung. "Saya dipinjami baju badut lengkap dan diajari cara merias wajah dengan bedak warna-warni. Saya ingin beri kejutan buat keluarga Eva dan Gonzales," kisah Dina sambil tertawa.
Di hari H-nya, ia bersama badut asli memasuki rumah Eva-Gonzales. Semula, tak ada satupun yang mengetahuinya. Namun, setelah ia bicara, para kerabatnya yang juga hadir di sana mulai mengenali suaranya dan terpingkal-pingkal melihat ulahnya.
Pengalaman pertama ini membuat Dina merasa menemukan sesuatu yang menyenangkan. Di penampilan berikutnya, Dina kembali nebeng kelompok badut Shangrilla dan tampil di acara lain. "Saya ikut mereka cuma dua kali, berikutnya sudah main sendiri."
Setelah semakin eksis, Dina tampil dengan nama badut Si Cantik Mabon, singkatan Mama Bonita. Uniknya, ia tak pernah mematok harga. "Diberi berapa pun saya terima dengan gembira. Malah terkadang, saya enggak dibayar. Tujuan saya memang bukan cari duit. Bisa menghibur orang saja sudah gembira," ujarnya.
Apakah Dina mendapat tentangan dari keluarga atau korps tempatnya berdinas? Dina mengaku tak ada masalah. "Yang penting, sudah dapat persetujuan resmi dari komandan," ujar Dina yang beberapa waktu lalu aktif mengisi acara di TVRI Surabaya.
Kendati begitu, ternyata tak sedikit rekan sejawatnya yang mencibir aktivitasnya. "Tidak apa-apa, saya acuhkan saja. Mau menghibur orang, masak tidak boleh?" tukas Dina seraya mengatakan, putrinya, Nita, kini menjadi atlet panahan nasional.
Dina memang memiliki tantenta di dunia seni. Ia bersuara bagus dan merdu. Setamat Secaba (sekolah calon bintara) Polri pada 1985, ia berdinas di Polda Jatim dan bergabung di kelompok band Polwan Polda Jatim.
Pada 1988, ia ditugaskan ke Timor Timur (Timor Leste). Bakatnya di dunia tarik suara kian berkembang. Ia lalu bertemu musisi kenamaan Tim-Tim, Peirera. Mereka pun menikah. "Selain pemusik, suami saya juga pencipta lagu dan punya perusahaan rekaman besar di sana," papar Dina.
Sayang, nasib telah mengubah jalan hidupnya. Di saat bahagianya, terjadi gejolak politik yang berujung pada lepasnya Tim-Tim dari Indonesia. "Suami memilih tetap tinggal di negeri asalnya, dan saya harus kembali ke Indonesia. Tapi, anak-anak, Nita dan Yuke (19), tetap bisa berkomunikasi dengan ayahnya," pungkas Dina.
Kesan serius Santoso Abetnego (47) ketika mengajar Bahasa Indonesia di depan kelas seketika akan pudar saat dibandingkan dengan penampilannya di atas panggung. Para penonton yang sedang menyaksikannya tampil di atas pentas dijamin akan dibuat terpingkal-pingkal lewat lawakannya.
Abet, demikian bapak dua anak ini disapa, memang punya profesi ganda. Selain sebagai pendidik, ia juga pelawak profesional. "Melawak, sangat menyenangkan. Apalagi kalau yang dihibur bisa sampai terpingkal-pingkal," ujar Abet saat ditemui di tempatnya mengajar, SMPN 14, Benowo, Surabaya.
Menurutnya, hobi melawak sudah muncul sejak ia remaja, tepatnya ketika masih duduk di bangku SMP di Blitar. Ia sendiri bisa melucu di depan umum berkat ajaran guru sekolahnya. "Waktu SMP, kalau ada kegiatan di sekolah biasanya saya diminta melawak," katanya.
Hobi itu semakin tersalurkan setelah pindah ke Surabaya. Secara kebetulan tetangganya, Cak Udun, sedang mencari partner melawak. Merasa sama-sama punya latar belakang bisa melucu, keduanya mendirikan grup lawak TAA (Tomea Adisbaba) pada 1987, ditambah dua personel, Cak Giso dan Yono. "Tapi baru-baru ini, setelah semakin berkembang, nama grupnya kami ubah jadi Njleput," papar Abet.
Bagi Abet, tak ada masalah saat harus menjalani dua profesinya. Kendati harus bedigasan (melawak) di atas pangggung, namun tak mengurangi kewibawaanya ketika harus menghadapi siswa di kelas. "Mereka tetap menaruh rasa hormat kepada saya," ujar Abet yang bersama Njleput sering menjuarai lomba lawak di Surabaya.
Uniknya, Abet juga sudah menularkan ilmu melawak kepada tiga siswanya, yaitu Joshua, Hansen dan Azis, yang membuat grup lawak Patras. Bahkan, Patras pernah meraih juara dua pada lomba lawak Piala Dunia Tawa TPI. Tak hanya itu, saat memperingati Hari Pahlawan, 10 November 2009, grup Njleput dan Patras berkolaborasi melawak selama 10 jam, 10 menit, 10 detik di sekolah mereka.
Ide lawakan, kata Abet, bisa datang dari mana saja. Bahkan, tak jarang ide-ide segar muncul dari para siswanya. "Siswa saya baik-baik, kalau punya teka-teki lucu atau ide kocak, sering dibagi ke saya. Intinya, untuk bisa menciptakan lelucon diperlukan kecerdasan merespons dari pasangan lawak kita," kata Abet membuka rahasianya.
Selama jadi pelawak, ada satu pengalaman unik yang Abet alami, tepatnya terjadi dua tahun lalu. Sehari menjelang final lomba lawak Srimulat Manggung Keliling (SMK), istrinya meningal dunia akibat kanker. "Meski sedih, saya harus tetap profesional. Bersyukur, grup saya juara dua," cerita Abet yang juga rajin memberi khotbah persekutuan doa di gereja.
Gandhi/ bersambung
Foto-foto: Gandhi
KOMENTAR