Kamar di rumah petak di Jalan Sirsak, Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu tampak senyap. Hanya ada sebuah tempat tidur dan beberapa kardus mi instan berserakan. Di tempat inilah jasad Agnes Kharisma (17) atau yang sering dipanggil Risma oleh tetangga, "diinapkan" selama tiga malam sebelum akhirnya dibuang di sebuah selokan di Jl. Joe, masih di wilayah Jagakarsa.
Yang membuat orang ternganga, sang pelaku pembunuhan adalah ibunya sendiri. "Bukan hanya saya, semua orang yang menemui saya juga bilang, kenapa Nenek tega jadi dalang pembunuhan anaknya?" kata Budi (60), ayah Agnes. Nenek adalah sebutan untuk Mel, ibunda Agnes yang sehari-hari tinggal bersama Agnes.
Akan halnya Budi, ia sudah lama tak serumah dengan Mel, meski secara hukum status mereka masih resmi suami-istri. "Saya kadang tinggal di Bogor, kadang di rumah Anggi, anak sulung kami, di Jagakarsa," papar Budi yang tak mau menjawab kenapa ia tak mau tinggal serumah dengan Mel. Budi mengaku tahu anaknya dibunuh setelah mayatnya ditemukan pemulung di selokan. "Itu juga setelah diberitakan di teve," jelas Budi. Keluarga bisa langsung mengenali mayat Agnes karena ada tanda di kaki kiri bekas luka kena knalpot motor.
Awalnya, polisi menduga Agnes dibunuh karena masalah asmara atau cinta segitiga. Maklum, di alat vital gadis yang hanya sekolah sampai kelas 2 SMP ini, terdapat bercak sperma. Dugaan itu diperkuat oleh keteragan Mel yang menyebutkan, sebelum hilang Agnes dijemput dua orang pria.
"Kepada kami, Nenek juga bilang, sebelum menghilang Agnes dijemput dua orang lelaki," sela Alin, pemilik rumah kontrakan yang ikut mendampingi wawancara. Padahal, saat itu sebetulnya Agnes sebenarnya sudah dibunuh dengan cara dibekap, Senin (7/2) oleh Si dan War, atas suruhan Mel. Tiga malam jenazah Agnes yang dibungkus selimut dan dibiarkan di rumah kontrakan itu. "Selama itu, Nenek tak pernah tidur di rumah. Katanya, sih, menginap di rumah temannya," jelas Alin yang tak menyangka di dalam ada mayat. "Tetangga tak mencium bau busuk, sih." Yang pasti, selama ada mayat Agnes, rumah petak itu selalu tertutup dan pintunya dikunci. Mel juga sepertinya mencari waktu yang pas untuk "membuang" jasad Agnes. Hari ketika Agnes ditemukan di selokan, seputar Jagakarsa sedang gelap gulita lantaran sejak siang hingga tengah malam mati lampu.
Pengakuan Mel ke pihak penyidik, benar-benar membuat Budi tak habis pikir. "Agnes itu sangat dekat ke ibunya. Hanya ke Nenek dia bisa curhat," jelas Budi yang sejak Agnes kecil sudah tak serumah dengan istrinya. Dituturkan Budi, Agnes dan Mel sempat berkali-kali pindah rumah kontrakan. "Agnes lahir di Jl. Blimbing, Jagakarsa. Baru dua tahun belakangan ini pindah ke sini." Sejak dulu, lanjut Budi, dia tak merasa dekat dengan Agnes. "Kalau ketemu juga jarang mengobrol. Ya, gimana, ya? Sejak kecil saya, kan, jarang ketemu," dalih Budi yang mengaku hanya dekat dengan Anggi, anak sulungnya. "Makanya saat Agnes meninggal, saya juga tidak mendapat firasat apa-apa," tutur ayah tujuh anak ini.
Ditanya soal Si yang diaku sebagai anak angkatnya, Budi membenarkan hal itu. "Waktu kecil memang sempat tinggal bersama kami. Maklum, waktu itu dia anak jalanan, enggak punya orangtua. Tapi setelah remaja, dia pergi dari rumah," tutur Budi yang tak menyangka Si terlibat dalam masalah ini.
Kehidupan Agnes dan Mel, menurut cerita Alin, biasa-biasa saja. "Kalau toh ada ribut-ribut, ya, masih wajar. Namanya juga tinggal satu rumah," kisah Alin. Yang jelas, lanjut Alin, tugas menopang ekonomi keluarga justru ada di pundak Agnes. "Semua kebutuhan ibunya, mulai dari makan, beli rokok, sampai uang kontrakan, Agnes yang bayar."
Alin enggan menyebutkan di mana dan sebagai apa perempuan cantik ini bekerja. Yang jelas, kata Alin, Agnes selalu berangkat sore atau malam dan pulang dini hari atau esok hari. Pergi pun selalu dijemput taksi. "Nenek yang sering mencarikan taksi dan mengantar Agnes sampai ujung gang."
KOMENTAR