Kedai Getek Sensasi Sajian Keong
Semula, Kedai Getek (KG) berada di kawasan Jl. Martanegara, Bandung. Namun, mulai Januari lalu KG berpindah ke Jl. Cilaki 43, Bandung. Ada beberapa hal pula yang ikut berubah seiring perpindahan tempat ini. "Dulu, ada karaoke dan pegawai latah yang meladeni tamu, sementara ini ditiadakan dulu. Tapi, konsep lucu tetap ada. Nama-nama menunya juga tetap lucu dan mengundang tawa," jelas Adrian (32), sang pemilik KG.
Tengok saja daftar nama menu minumannya. Ada Jupe, tapi bukan Julia Perez si aktris seksi, tapi campuran jeruk dan tape. Nama menu lainnya tak kalah menggelitik. Tutut (keong sawah, Red.) Cape Hate, Tutut Ibu Tiri, Belut Rica Sugiarto, Beruk (Bandrek Jeruk), Si Otong (Sekoteng), Teh Riri (Teh Stroberi), dan Lengser (Lemon Teh Sereh).
Soal harga, pun tak perlu risau. Semua makanan di KG tergolong cukup bersahabat, berkisar antara Rp 7-15 ribu saja.
Lantas, mengapa menu keong sawah sebagai menu andalan? Menurut Adrian, istrinya, Riska, sangat menyukai keong sawah. "Istri saya kasih ide, kenapa enggak buka restoran tutut saja? Saya kenalan dengan Chef Oke, yang bisa mengolah tutut tanpa bau tanah dan amis."
Agar tak berbau amis, kata Adrian, keong harus direbus berulang kali. "Kalau direbus pakai tulang ayam, baunya tambah wangi. Saat ini, kami sudah punya supplier tutut yang mengirim dalam kondisi sudah dikupas dan direbus satu kali."
Daerah Cirata, Cianjur,lanjut Adrian, merupakan tempat mendapatkan peternakan tutut. Konon, tutut juga berkhasiat sebagai penyembuh penyakit lever.
"Rencananya kamu mau mengeluarkan menu baru, Tutut Bakar, yang dimasak dalam bambu, biar lebih wangi, empuk, dan meresap bumbunya," kata Adrian yang tidak pede bila masakannya tak diolah Chef Oke. "Padahal, dia banyak tawaran di mana-mana dengan gaji lebih tinggi. Tapi, dia bertekad ingin memajukan KG. Orangnya kreatif, berani mencoba menu baru. Saya senang bekerja sama dengan dia."
Teh Gula Resto (TGR) yang berada di Jl. Surya Sumantri, Bandung ini buka selama 24 jam. Ketika dibuka pada Juni 2008, "Tadinya, kami hanya buka dari jam 8 pagi sampai tengah malam, dengan 4 meja dan 16 kursi. Modalnya Rp 3-4 juta," tutur Indra, staf Marketing TGR
Tiga minggu pertama, buka tak ada pembeli. Akhirnya, setiap minggu para sopir taksi kami panggil dan diberi makan. "Akhirnya, TGR jadi pangkalan taksi. Dari mulut ke mulut, para sopir itu lalu bercerita ke penumpang dan mempromosikan tempat kami, apalagi harga makanan dan minumannya cukup terjangkau."
Ternyata, cara para sopir tadi membawa berkah buat TGR. Tak lama, TGR mulai ramai didatangi pengunjung, sampai akhirnya TGR buka warung selama 24 jam. Pegawainya yang kini berjumlah 60 orang dibagi 3 shift. Menu yang ditawarkan TGR pun beragam.
Kebetulan, tak jauh dari TGR terdapat sebuah kampus, sehingga banyak mahasiswa yang datang. "Kami sengaja menjual makanan dengan harga terjangkau, untuk kelas menengah. Soalnya, mereka yang datang naik motor justru enggak suka banyak tanya. Habis makan, langsung bayar. Kalau orang berpenampilan keren, lebih sering tanya-tanya, repot," tutur Indra sambil tertawa.
Konsumen yang datang pun beragam dan rata-rata bermobil. "Meski tempatnya ada di pinggir jalan, tapi tidak kena debu, konsumen juga bisa menikmati suasana Bandung yang sejuk. Orang Jakarta sangat suka ke sini."
Oh ya, nama TGR tercipta karena pemiliknya kerap memberi teh poci khas Jawa Tengan dan gula batu gratis. Namun, kini kebiasaan itu ditiadakan. Untuk menjaga kualitas dan kebersihan makanan, Indra pun menerapkan sistem tak ada makanan yang "menginap", kecuali makanan beku.
"Hari ini harus habis, jangan bersisa. Makanan yang tidak habis, akan dibagikan ke karyawan," kata Indra seraya mengatakan, TGR sudah memiliki cabang di tempat lain, namun dengan nama berbeda, Tahu Tidur.
Noverita / bersambung
KOMENTAR