Setelah hampir enam tahun menikah dengan suamiku, Budhi Kantjana (36), akhirnya kami dikaruniai seorang putri cantik pada 5 Juli 2010. Aku melahirkan dengan cara Caesar di Rumah Sakit Global Medika, Tangerang. Kami memberinya nama Maureen Angela. Tubuhnya kecil karena saat lahir bobotnya hanya 2,91 kg. Meski begitu, pertumbuhannya normal seperti bayi lain pada umumnya. Selama ini, Maureen minum susu formula.
Aku rajin membawanya ke dokter untuk keperluan imunisasi dan lainnya. Selama itu, Maureen tak pernah sakit parah. Paling hanya demam dan beberapa hari kemudian sudah sembuh lagi. Sampai kemudian, 15 November 2010, Maureen demam, batuk, serta pilek. Malam itu juga, aku membawanya ke dr. Robert di RS Global Medika (sekarang menjadi RS Awal Bros, Red.). Aku memang sudah biasa memeriksakan Maureen ke dr. Robert. Sampai di rumah, kuberikan obat yang diresepkan dokter. Bukannya membaik, Maureen malah muntah-muntah. Bahkan, diare sampai 15 kali. Tubuhnya juga kejang-kejang. Tentu saja aku panik. Tak pernah Maureen sakit seperti ini.
Esoknya, aku segera menelepon dr. Robert yang meminta agar Maureen segera dibawa ke RS Global Medika. Maureen dirawat di UGD dan mendapat tindakan medis yang tidak aku ketahui. Maureen mesti dirawat di ICU yang biaya per hari Rp 6 juta dan harus membayar uang muka Rp 10 juta. Mereka juga minta persetujuan untuk memasang alat bantu oksigen yang belakangan ternyata tak diperlukan anakku.
Jaringan Mati
Sekitar jam 18.00, Maureen masuk ICU. Sempat kulihat, tangan kanan Maureen dibalut perban sampai pergelangan tangan. Sekitar jam 22.00, aku pamit pulang untuk menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa.
Sejam kemudian, aku ditelepon dokter jaga, supaya segera ke RS. "Kenapa, Dok?" tanyaku galau. Dokter Ida yang saat itu jaga di ICU menjelaskan, "Waktu datang, kan, kondisi Maureen jelek. Dokter memberi infus bicnat." Rupanya pemberian obat itu membuat tangan kanan Maureen yang dipasangi infus jadi bengkak. Ketika perban dibuka, kondisi tangan sampai pergelangan seperti terbakar. Warnanya merah keunguan. Kemungkinan besar, pemberian infus dilakukan saat di UGD, meski saat itu aku tidak dimintai persetujuan.
Aku lantas bertanya kepada dokter, apakah ada risikonya? Sejenak aku lega ketika dokter menjawab tak ada. "Seminggu sudah sembuh. Paling-paling nanti ada bekas seperti luka bakar." Namun, aku merasa miris melihat Maureen menangis kencang. Aku tak tahu apakah dia kesakitan. Yang jelas, keresahan kembali melandaku ketika mendapat kabar Maureen perlu diperiksa ahli bedah untuk memastikan kondisi tangan kanannya. Aku bingung. Katanya enggak apa-apa, tapi, kok, mesti diperiksa dokter bedah? Aku makin gundah ketika dokter ahli bedah mengatakan, ada kemungkinan buruk, "Jari Maureen mesti diamputasi."
Aku tentu tambah syok. "Kenapa bisa begini, Dok?" Dokter menjelaskan, ada kemungkinan jaringannya sudah mati. Ternyata, keadaan pergelangan tangan Maureen tak membaik. Ia juga menambahkan, Maureen tak perlu operasi karena jari-jarinya akan putus sendiri. Deg! Aku makin ternganga. Dokter menjelaskan, ini efek dari pemberian infus.
Begitulah, tangan gadis kecilku tampak makin parah. Tak kuasa aku melihat mulai jari sampai pergelangan tangan kanannya melepuh dan bengkak. Lalu, jari kelingking semakin kecil dan hitam.
Selanjutnya, Maureen kembali menjalani operasi pengangkatan jaringan kulit mati, kecuali kelingking karena kondisinya sudah parah. Makin hari, kelingkingnya makin kecil, sementara jari lainnya mulai membaik. Setelah sekian hari dirawat, Maureen sudah bisa pulang, tapi tetap harus kontrol ke dokter.
KOMENTAR