Belakangan, hidangan khas Jepang ini memang sangat terkenal. Namun, karena bahan-bahannya yang relatif susah dicari di Indonesia, harga sushi pun melambung tinggi. Apalagi jika dijual di restoran dan pusat perbelanjaan. Ide untuk membawa makanan "premium" ini ke pinggir jalan tercetus oleh Endang (53) dan keponakannya Irawati (21). Juni 2010, mereka membuka Sushiko yang menyediakan aneka menu sushi tradisional dan modern. Uniknya, sushi dijual di dalam mobil boks yang mangkal di Jl. Raya Kalimalang Blok N 12 G. Nama menunya pun menarik perhatian pelanggan. Seperti Rainbow, Dragon Fly, Kintaro, Salmon Nigiri, Tuna Maki, Salmon Toast, Tobiko Gunkan. Dilengkapi ocha, teh hijau khas Jepang racikan sendiri.
Selain karena hobi makan sushi bareng teman-teman di mal, Endang dan Irawati memulai bisnis ini karena ditawari konsep jual sushi ala mobil boks yang dimiliki seorang teman di Bandung. Mereka pun membeli konsep, lengkap dengan pelatihan karyawan dan rekomendasi pemasok bahan baku. Mobil boks dipilih karena dianggap praktis sebagai dapur sekaligus fleksibel untuk mobilitas.
Dua bulan pertama setelah dirintis, Sushiko belum berjalan sukses gara-gara hujan yang terus-terusan mengguyur Jakarta. Dari situ justru mereka semakin tertantang memodifikasi mobil agar jadi tempat jualan yang nyaman, tanpa mengesampingkan unsur kebersihan dan cita rasa sushi.
"Jual sushi tidak bisa sembarangan, tidak semua orang bisa membuatnya. Karena sushi identik dengan makanan sehat, makanya harus higienis biar tetap laris," papar Endang. Endang dibantu tiga orang karyawan yang sudah dilatih membuat sushi selama dua bulan. Semua karyawan juga tinggal di mess khusus agar memudahkan pekerjaan setiap hari.
Konsumen Sushiko didominasi anak muda. Ada juga ibu-ibu yang senang membawa anak-anaknya makan sushi, dengan alasan lebih sehat. Namun, konsumen terbesar Endang dan Ira adalah anak sekolah atau ABG. "Mereka sampai hafal dengan menu dan harga sushi karena sering makan beramai-ramai dengan temannya," kata Endang.
Lokasi mobil boks memang sengaja ditempatkan dekat area futsal, jajanan malam dan kedai kopi yang selalu ramai pengunjung. Yang paling laku tentu menu andalan, seperti Dragon Fly, Rainbow, Kintaro dan Salmon Toast. Dengan harga Rp 10 ribu sampai Rp 29 ribu, aneka sushi dengan rasa yang tak kalah lezat seperti di restoran, sudah bisa membuat perut kenyang. Mobil Sushiko biasa mangkal dari jam 4 sore hingga 12 malam.
Setelah 6 bulan berjalan dan mulai menunjukkan hasil positif, akhirnya mereka menyewa tempat permanen seluas 4x6 meter dengan biaya Rp 2 juta/bulan. Tetapi, mobil boks yang menjadi ciri khas Sushiko tetap ditempatkan di depan gerai. Mobil ini merangkap dapur sekaligus tempat yang menampung segala perlengkapan seperti meja dan kursi.
Diakui Endang, kepopuleran Sushiko sangat terbantu teknologi. Selain informasi yang menyebar dari mulut ke mulut, pembeli Sushiko banyak pula yang menggunakan Twitter dan Foursquare, untuk menginformasikan bahwa mereka sedang makan disitu.
Meskipun kini belum balik modal, Endang dan Ira mengaku sudah mampu menutup biaya operasional harian. Mereka juga mengeruk keuntungan lebih dari 30 persen tiap bulannya. "Kalau modal, paling utama di mobil boks, karena itu adalah aset paling penting sewaktu membeli konsep yang kami terapkan di Sushiko."
Bagaimana cara kedua ibu rumah tangga ini menekan biaya agar sushi yang dijual terjangkau, namun rasanya tetap lezat? Apalagi harga bahan baku utama seperti beras, ikan dan wasabi tentu tak murah. Endang mengakui sejak awal tidak memikirkan keuntungan, "Yang penting sushi ini dapat menarik pelanggan, mereka tahu disini ada sushi enak tapi harganya 'miring'. Meskipun murah, kami tetap memakai bahan-bahan berkualitas yang didapat dari para supplier," ungkapnya. Setiap bulan, mereka membeli dalam jumlah besar bahan baku yang dikirim oleh pemasok. Yang paling utama antara lain, beras 50 kg, 5 ekor ikan salmon dan tuna, 8 bungkus nori (rumput laut), dan 25 bungkus kani (crab stick).
Meski umurnya belum genap setahun, Sushiko kini sudah banyak menerima pesanan untuk acara ulang tahun, arisan atau acara-acara lainnya. Pemesanan harus dilakukan dua hari sebelumnya dengan minimal order 50 porsi yang akan diantar langsung ke alamat pemesan. Kadang ada juga pelanggan yang menulis saran, yang minta disampaikan ke Endang dan Ira. Mereka berdua juga rajin memantau setiap malam, "Tugas kami berdua fleksibel, kadang jadi PR untuk pelanggan yang makan di tempat kami. Kadang juga membantu karyawan kalau lagi ramai, seperti cuci piring, antar menu, pokoknya apa saja lah selama masih bisa dilakukan," ujar Ira.
Ke depan, lanjut Ira, mereka ingin menambah gerai lagi jika sudah menemukan lokasi yang cocok. Untuk sementara, mobil boks tetap jadi andalan utama untuk kemudahan mobilitas. Maksudnya, jika ada acara, bazar atau pameran, jualan bisa pindah-pindah. "Tapi khusus yang di Kalimalang, kami pilih punya gerai tetap. Lagipula tempatnya dekat dari rumah."
Bagi yang ingin memulai usaha sejenis, menurut Ira lagi, mesti berani dan konsisten dalam menjalankan bisnis. Tak sekedar jualan tapi juga rajin memantau dan terjun langsung. Jangan menyerah dengan berbagai kendala dan terus berinovasi. Nantinya, mereka juga akan membuat open kitchen, supaya pelanggan yang penasaran bisa lihat langsung cara membuat sushi. "Sebagai perempuan, kadang juga menggunakan insting dalam berbisnis. Yang penting, berbisnis kuliner jangan sampai umurnya hanya sesaat," saran keduanya kompak.
Ade Ryani / bersambung
Foto: Ade Ryani, Dahrani Putri
KOMENTAR