Orang bilang begitu, tapi saya justru banyak teman baru. Teman saya adalah masyarakat.
Dengan menggugat sejumlah perusahaan, tidak takut kehilangan kesempatan mendapatkan klien?
Enggak lah. Masih banyak perusahaan lain. Saya juga tak memusuhi Pemerintah. Justru saya mencintai pemerintah dengan menggugat mereka sebagai upaya kritik agar kinerjanya lebih baik.
Langkah Anda mempermasalahkan lambang Garuda di kaos Timnas, membuat Anda jadi tidak poluler?
Ya, kalau mau menegakkan keadilan memang harus berani ambil risiko tidak populer, berani melawan arus. Kalau saya menemukan pelanggaran UU hari ini, kenapa harus menunggu besok untuk melaporkannya? Kalau, toh, saya kalah, saya sudah senang masyarakat sudah mengerti UU.
Jangan-jangan Anda cari sensasi?
Tidak hanya itu tuduhan kepada saya. Ada yang bilang, saya menggugat sana-sini, apa tidak takut kehilangan kredibilitas sebagai pengacara? Soalnya, selama ini mereka menganggap kredibilitas saya bagus. Saya menjalani profesi ini bukan mencari kredibilitas, popularitas, pamor atau sensasi. Biar orang membenci saya, yang penting apa yang saya lakukan dasar hukumnya kuat dan benar.
Anda begitu berani menggugat sana-sini. Siapa, sih, di belakang Anda?
Ha ha ha... Tidak ada. Saya melakukan ini sendiri. Tak ada orang yang mem-backing-i saya, membiayai saya. Untuk membuktikan tidak ada orang di belakang saya, ke mana-mana saya sendiri.
Semasa masih mahasiswa, sudah suka membela rakyat kecil?
Sebenarnya bibit-bibit itu muncul saat saya magang di LBH Jakarta, sebelum lulus kuliah. Di situ saya menangani kasus-kasus yang menimpa rakyat kecil seperti penggusuran, demo mahasiswa, dan lainnya. Kebetulan kalau Bang Buyung (Ketua YLBHI saat itu) orasi, saya yang mengawal ke mana-mana karena badan saya gede. Selama setahun (1994-1995) saya belajar dan menikmati ketika membela rakyat kecil di LBH. Ya, akhirnya keterusan sampai sekarang.
Lagi-lagi kaum ibu kecele karena ternyata Rabu (23/2) lalu pihak IPB tak juga menyebutkan merek susu formula yang pernah ditelitinya, yang kabarnya mengandung bakteri Sakazakii. "Ini dilema buat kami," kata sang rektor, Herry Suhardiyanto. Di satu sisi, katanya, IPB harus mematuhi putusan MA yang memerintahkan untuk mengumumkan merek susu formula yang mengandung bakteri Sakazakii, di sisi lain juga harus tunduk aturan internasional yang melarang mempublikasikan hasil penelitian itu.
Ia lalu berkilas balik, penelitian terhadap 22 sampel kaleng susu formula yang dilakukan Sri Estuningsih tahun 2003 itu sifatnya hanya "memburu" bakteri Sakazakii. "Hasilnya, ada 5 kaleng susu yang mengandung bakteri tersebut." Temuan itu akhirnya dilaporkan ke WHO yang berujung kepada acuan pengeluaran aturan melarang susu formula yang mengandung bakteri Sakazakii. "Jadi, saat penelitian itu dilakukan, belum ada larangan dari WHO." Sebetulnya, tambah Herry, "Sumbangsih Dr. Sri Estuningsih luar biasa. Bukan hanya kepada masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat dunia karena hasil penelitiannya dijadikan acuan larangan WHO ke produsen susu bayi."
Setelah ada larangan itu, BPOM melakukan penelitian ulang terhadap sampel susu formula yang sama pada tahun 2008. "Hasilnya, tidak ada lagi bakteri Sakazakii dalam sampel susu yang diteliti," kata Herry. Selain terikat larangan internasional soal penyebutan merek dalam penelitian, Herry juga menilai tidak fair jika ia mengumumkan merek karena penitian itu hanya mengambil 22 kaleng susu, "Bukan meneliti seluruh susu formula yang beredar di masyarakat."
Meski dampak dari penelitian itu sekarang membuat masyarakat resah, Herry tetap mengimbau para peneliti agar tidak berkecil hati. Bahkan, ia dan stafnya berani menerima tantangan dari Mendiknas M. Nuh untuk melakukan penelitian merek susu yang beredar di pasar dalam waktu 6 bulan.
"Biar nanti hasilnya diumumkan oleh BPOM karena mereka yang berhak mengumumkan. Saya hanya menggaransi, yang diumumkan BPOM kelak sama dengan hasil penelitian IPB," kata M. Nuh.
Sukrisna
Foto: Sukrisna
KOMENTAR