Ancamanku untuk mengakhiri pernikahan akhirnya kubuktikan pada 19 November silam, ketika DK kembali memukulku. Siang pukul 12.00 itu, kami bertengkar di mobil. Pinggangku ia cubit dengan sangat keras sambil ditarik ke atas. Sambil menggendong anak kami, aku terus berteriak minta ia menghentikan mobil agar aku bisa ke luar. Namun, pintu dan jendela mobil ia kunci.
Karena aku terus berteriak, ia memukul wajahku dengan tangannya. Seketika darah keluar dari hidungku. Aku juga merasa menelan darah. Saat itulah aku tahu, tulang hidungku patah. Sampai di rumah, usai meletakkan anakku, aku bermaksud ke luar rumah untuk minta tolong ke tetangga. Dengan tubuhnya yang besar, DK menghalangi dan membekap tubuhku.
Aku terpaksa menggigit dadanya. Aku sempat terlepas, tapi kembali dibekap olehnya. Kugigit tangannya untuk melepaskan diri. Ia justru mendorongku ke kamar. Di sana, tubuhku dibanting ke kasur dan kembali aku dipukuli dan ditindih sampai tulang rusukku terasa sangat sakit dan aku sulit bernapas. Aku minta dilepaskan, dengan alasan sebentar lagi anak sulungku pulang sekolah dan aku tak ingin anakku melihat ibunya dalam keadaan berdarah.
Kembali ke kamar, kupotret wajahku karena ingin tahu seperti apa setelah dipukul. Hasilnya, masih berdarah. Foto itulah yang kujadikan bukti ke polisi. Ya, aku memang membuat visum dan melaporkan pemukulan suamiku itu ke polisi sore itu juga, atas saran kakakku di Medan yang kukabari sesaat setelah pemukulan. Aku juga menggugat cerai ke Pengadilan Agama di Bogor.
Minta Maaf
Rupanya, nasib burukku tak berhenti di situ. Dua minggu kemudian, datang polisi ke rumah menyampaikan surat panggilan. Ternyata DK balik melaporkanku, berdasarkan visum atas gigitanku di tangan dan dadanya. Aku yang awalnya diperiksa sebagai saksi, berubah status menjadi tersangka meski hanya wajib lapor. Di hari pemukulan itu, DK kuusir dari rumahku, meski mulanya ia tak mau pergi.
Seminggu kemudian, ia datang lagi dan berusaha mendobrak pintu. Saat itulah ia tahu bahwa aku melaporkannya ke polisi. Sejak itu, ia menelepon, mengirim SMS, dan menulis e-mail untuk meminta maaf sekaligus membujukku agar mencabut laporan. Namun tak kugubris. Kekesalannya karena kucueki itulah yang membuatnya melaporkanku balik ke polisi.
Sampai sekarang, aku masih trauma setiap melihat mobil yang tipe dan warnanya sama dengan mobil DK. Aku sendiri tak menuntut apa pun dari DK. Aku hanya ingin keluar dari kehidupannya dan tetap mengasuh anak kami. Aku menceritakan semua ini semata-mata agar para istri yang mengalami nasib sepertiku, berani mengambil tindakan untuk melapor ke polisi.
Cara kekeluargaan, itulah yang diinginkan DK untuk menyelesaikan masalahnya dengan Rita. "Patah tulang hidung pun bukan karena saya sengaja. Waktu itu Rita marah karena saya tegur untuk selalu mengabari saya kalau mau bepergian. Dia memukul-mukul saya di dalam mobil. Refleks, saya tahan pukulannya dengan tangan kiri, namun jam tangan saya yang dari besi malah mengenainya," aku DK, saat ditemui Jumat (25/2).
Pria ini juga bertutur, luka gigitan dari Rita yang akhirnya divisum dan dijadikan barang bukti adalah luka yang ke sekian kali diterimanya. "Sudah berkali-kali saya diusir dan diludahi. Rita juga punya kebiasaan marah-marah dan kecenderungan menyakiti diri sendiri. Kalau lagi marah, dia suka membentur-benturkan kepala ke dinding dan mengambil pisau ke dapur lalu mengancam akan menusuk dirinya sendiri."
KOMENTAR