Sebetulnya, setelah gagal berumah tangga dengan suami pertama, hidupku bisa dikatakan tenang. Meski kini menjanda sejak 2004, setelah dulu sempat menikah selama empat tahun, hidupku bahagia bersama anak perempuan kami satu-satunya yang kini berusia 10 tahun.
Aku juga punya rumah dan penghasilan sendiri dari pekerjaanku sebagai fotografer lepas dan mengajar fotografi. Hasilnya memang tak berlebih, tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Aku juga kerap mengadakan pameran foto untuk aktualisasi diri. Pendeknya, aku menikmati hidup.
Pada suatu hari di tahun 2008, hidupku berubah dengan hadirnya DK. Ia teman sekelasku semasa kelas 1 SMA di Medan dulu. Menginjak kelas 2, kami tak pernah bertemu lagi sampai tahun 2008 itu. Rupanya ia menemukanku kembali lewat dunia maya. Dari situ ia tahu, aku sudah sendiri. Bila tak salah ingat, pada 15 Januari 2008 ia menulis pesan di akunku dan mengajakku bertemu esoknya. Saat bertemu, ia banyak bercerita tentang rumah tangganya yang menurutnya tak harmonis lagi.
DK menjelek-jelekkan istrinya dan mengeluhkan perlakuan istrinya terhadapnya. Aku yang saat sekelas dengannya merasa DK adalah orang baik, jadi geram mendengar cerita itu. Aku pikir, istri macam apa yang memperlakukan suaminya seperti itu? Aku jadi iba kepada DK sekaligus sebal kepada istrinya. Setelah beberapa kali pertemuan, DK melamarku. Aku tahu, ia pernah suka padaku semasa SMA dulu, karena ia pernah menyatakannya. Namun, waktu itu aku memintanya untuk menganggapku sebagai adik karena aku belum boleh pacaran.
Sekadar Status
Ketika ia kembali menyatakan perasaannya, jelas kutolak karena ia masih beristri. Apalagi, empat tahun bukanlah waktu yang singkat bagiku untuk menyembuhkan trauma kegagalan pernikahan. Namun, DK gigih membujuk, mengatakan bahwa pernikahannya denganku kelak bukanlah poligami. Ia mengaku mempertahankan hubungan dengan istrinya sekadar untuk status saja, demi anak-anaknya.
Aku sendiri jadi makin yakin, pernikahan DK dengan istrinya yang tinggal di Bandung, memang bermasalah. Beberapa kali aku mendengar langsung mereka bertengkar di telepon. Belum lagi DK bilang, ada masalah dengan pemenuhan kebutuhan biologis dari pihak istrinya, dan sang istri tak peduli bila DK berniat menikah lagi. Semua bujuk rayu itu membutakan mataku. Akhirnya aku setuju diajak menikah.
Kupikir, kami sama-sama pernah gagal membina rumah tangga, jadi bisa mencoba bangkit bersama. DK meminta restu ayahku yang waktu itu kebetulan datang dari Medan. Ayahku sempat mengingatkan, DK masih punya istri. Namun, kujawab dengan alasan yang sama seperti yang diberikan DK kepadaku. Ayahku pun mengalah.
Tanggal 20 Maret 2008, dua bulan setelah pertemuanku dengan DK, tanpa dihadiri keluarganya, kami menikah secara sederhana di rumah orang tuaku di Medan. Untuk memuluskan pernikahan itu, aku masih ingat ia menandatangani surat yang menyatakan ia adalah jejaka. Seusai menikah, kami kembali ke Bogor.
Namun, kebahagiaan berumatangga seolah hanya sekecap lidah kurasakan. Baru beberapa minggu menikah, lewat SMS yang dikirimkan kepada suamiku, istrinya yang di Bandung mengatakan masih cinta, kangen, dan bertanya kapan DK akan pulang. SMS-SMS itu sering diterimanya pagi-pagi di akhir pekan.
KOMENTAR