Memasuki Jl. Kedung Baruk Gang V, Kecamatan Rungkut, Surabaya, suasana terasa berbeda. Meski termasuk perkampungan padat dengan jalan yang hanya cukup dilintasi sepeda motor, namun tak terkesan kumuh. Di sepanjang jalan tak ada sampah berserakan.
Di depan rumah warga justru terdapat pot tanaman hijau yang menyejukkan mata. Ibu-ibu warga setempat juga memiliki kebun toga ukuran 3 meter persegi yang terawat baik, dengan koleksi tanaman lumayan banyak. "Kebun obat kami memang kecil, tapi memiliki manfaat sangat besar bagi kami," kata Sumarni (41) pegiat penghijauan lingkungan setempat.
Menurutnya, untuk menciptakan kampung bersih dan memiliki kebun toga bukan pekerjaan mudah. Selain butuh waktu, juga kesabaran ekstra. Ia mulai aktif jadi pegiat penghijauan sejak 2005. "Sejak itu, di setiap pertemuan kampung, saya bersama ibu-ibu yang peduli penghijauan mengajak warga menanam tanaman di depan rumah masing-masing," kata Sumarni.
Awalnya, ia memberi contoh kepada yang lain dengan menghijaukan halaman rumahnya yang sempit dengan berbagai tanaman dalam pot. "Kalau hanya menyuruh, tapi tidak memberi contoh, mana mungkin ada yang mau dengar?" cerita Sumarni yang giat melakukan penghijauan semata-mata ingin melihat lingkungan yang sejuk, indah dan sehat.
Setelah kampung menghijau, barulah taman obat dibuat. Relawan dari Pusdakota (Pusat pemberdayaan komunitas perkotaan) yang mendampinginya memberi saran, agar warga menanam toga dengan memanfaatkan lahan bekas bak sampah sebagai kebun. Untuk sakit ringan, warga tak perlu ke dokter dan mengeluarkan biaya, cukup memanfaatkan tanaman di kebun milik warga sendiri.
Dengan bibit hasil pemberian Pusdakota, mulailah aksi menanam dilakukan bersama-sama. Ada sekitar 30-an jenis tanaman obat yang ditanam dalam polyback dan gerabah besar yang ditata rapi. Daun kumis kucing, katuk, jinten, jati belanda, temulawak, keladi, cincau dan masih banyak lagi.
Di masing-masing batang tanaman itu diberi label nama tanaman lengkap dengan khasiatnya. Bahkan, untuk menghijaukan tanaman obat tadi, warga tak perlu membeli pupuk. Mereka memanfaatkan pupuk kompos hasil olahan sampah dapur rumah tangga. "Makanya di depan rumah warga tidak ada bak sampah. Sebab kami punya kotak pengolah sampah sendiri," papar Sumiati.
Karena keaktifan warga, Desember 2010 lalu warga Jl. Kedung Baruk V mendapat penghargaan dari Pemerintah Kota Surabaya sebagai kampung dengan peran warga teraktif.
Pagi itu, di ruang tunggu terapis H. Wahid Isnandar (83) telah berjejer pasien yang duduk di kursi panjang menunggu panggilan. Di ruang praktik yang berada di Desa Sambilawang, Kecamatan Dlanggu, Mojokerto ini, satu per satu pasien yang datang dari berbagai daerah mengeluh tentang sakitnya. Keluhan mereka beragam. Mulai dari tekanan darah tinggi, stroke, diabetes, sampai tumor dalam kandungan.
Seusai mendengar keluhan pasien, Isnandar yang pensiunan angkatan darat itu kemudian memeriksa nadi dan melihat rongga mulut pasien layaknya seorang dokter. Setelah itu, ia memberikan resep herbal buat pasiennya.
"Mengingat yang saya berikan itu 100 persen herbal, pasien harus rutin mengonsumsinya kalau ingin sembuh," ujar pria paruh baya yang masih terlihat bugar.
Yang menarik, racikan jamu yang diberikan kepada para pasiennya berasal dari kebun toga miliknya sendiri. Sebanyak 3.050 tanaman obat, 850 di antaranya sudah diteliti khasiatnya, tertanam rapi di atas tanah seluas 11,5 hektar. Sebagian ditanam di depan rumah, sebagian lainnya di sebelah rumahnya.
"Karena jenis tanaman yang saya miliki dianggap cukup banyak, saya mendapat penghargaan dari seorang peneliti dari Amerika," kata Isnandar bangga.
Hikmah Musibah
Asal muasal bapak lima anak ini bisa memiliki kebun toga yang sangat luas dengan ribuan jenis tanaman obat, sebenarnya cukup panjang. Semasa dirinya masih berdinas di kesatuan TNI-AD di Bandung pada era 80-an, anak pertamanya mengidap sakit asma akut. Sudah berbagai dokter dikunjungi dan berbagai pengobatan dilakukan, tapi si anak tak sembuh juga.
Setengah putus asa, ia mencoba melakukan pengobatan herbal dengan bahan-bahan yang ada di sekitar rumah. Ilmu meracik tanaman obat didapatnya dari Murtolo, sang kakek yang di Mojokerto merupakan seorang ahli pembuat jamu yang cukup terkenal. Dengan telaten ia membuat ramuan rempah-rempah, untuk direbus kemudian diminum anaknya setiap hari.
"Setelah minum jamu setiap hari, lama-kelamaan asma anak saya sembuh total," kata Isnandar. Sejak itu ia mulai percaya khasiat jamu tradisional.
Setelah pensiun dari tentara, ia semakin getol mencari berbagai aneka tanaman yang bisa dijadikan bahan jamu. Ia pun membeli tanah di dekat rumahnya, sedikit demi sedikit hingga terkumpul menjadi 11,5 hektar luasnya. Untuk mengisi petak tanah itu dengan tanaman obat langka, ia berburu hingga ke seluruh pelosok Indonesia.
Saat ini, Isnandar dikenal luas sebagai terapis herbal yang handal. "Pasien saya sudah tersebar dari berbagai pelosok tanah air," katanya. Saat ini, Isnandar bahkan telah menjalin kerjasama dengan fakultas farmasi dari 42 perguruan tinggi di Indonesia. Oleh Isnandar yang sempat kuliah di Fakultas Teknik Sipil di Bandung, para mahasiswa diberi akses seluas-luasnya untuk melakukan penelitian di kebun miliknya.
Mudah & Murah
Menurut Isnandar, obat herbal sangat penting dikembangkan. Salah satu alasannya karena faktor ekonomis. "Siapa sangka bunga bougenvile, tanaman lidah mertua, bunga kemuning yang ada di halaman kita bisa digunakan untuk obat yang sangat manjur," papar Isnandar yang di kebun toganya sudah pernah dijadikan penelitian ahli farmasi dari Jepang dan Amerika.
Untuk merangsang masyarakat agar gemar berkebun toga, Isnandar sering mengadakan lomba dan memberi penghargaan kepada komunitas atau perorangan yang dianggap memiliki kebun toga terbaik.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR