GUJAHE Berjaya Pasca Bencana
Setelah Yogyakarta dan sekitarnya ditimpa bencana gempa bumi dahsyat Mei 2006, Mujiyono (35) mengalami defisit luar biasa di bidang keuangan dan modal usaha. Gudang tempat penyimpanan rempah-rempah miliknya ambruk diguncang gempa, mengakibatkan empat truk stok aneka rempah seperti jahe, kunyit putih, kunyit dan temulawak batal terjual.
Tak pantang menyerah, insting wirausaha Mujiyono justru terpanggil untuk kembali bangkit. Mujiyono mengawali kebangkitannya dengan menjual produk buatannya sendiri. Dan kini, ia memiliki 23 macam produk minuman instan berbahan baku gula jawa, yang diberi nama Gujahe (gula jawa herbal), Gula Raja dan Gulajoss, dengan omzet Rp 150 juta-an perbulan.
Berbekal pengetahuan mengolah hasil pertanian, Mujiyono mulai mencoba membuat kristalisasi rempah dan gula aneka herbal.Modalnyapun tak banyak. Dari stok rempah dan gula yang masih bisa dimanfaatkan, ia mampu menghasilkan 1-2 kg kristalisasi herbal seperti jahe, temulawak dan kunyit putih per hari.
Produk itu kemudian ia tawarkan ke berbagai instansi dengan cara door to door. Tak disangka, responsnya positif. "Orang yang sudah beli dan mencicipi bilang ke saya, 'Besok ke sini lagi, ya, saya mau beli lagi'," kenang Mujiyono sambil tersenyum.
Melihat animo permintaan yang baik, Mujiyono meningkatkan produksi bertahap, mulai 5 kg perhari hingga 1 kwintal per hari. Ketika penjualannya terus meroket, Mujiyono pun mengatur strategi penjualan lebih profesional. Menjelang akhir 2008, ia membuat website resmi Gujahe. Setahun setelahnya, ia membuat Gulajoss, jamu instan untuk bermacam kebutuhan.
Berawal dari aktif sebagai kader Posyandu di lingkungan tempat tinggalnya di Salemba, Jakarta Pusat, Lia Muliani (47) justru merintis usaha herbal yang cukupberhasil. Sejumlah kader Posyandu itu membentuk beberapa kelompok, salah satunya Kelompok Tani Cempaka (KTC) yang diketuai Lia.
Kegiatan KTC, yaitu mengembangkan manfaat toga sesuai pelatihan dari Departemen Pertanian setiap sebulan sekali. "Kami diberi pelatihan sejak 1993. Awalnya dari menanam, setelah itu dilatih mengolahnya menjadi obat, makanan, dan lain-lain," kisah Lia.
Kelompok Lia memfokuskan minat pada olahan herbal, "Karena tanamannya sudah ada, jadi kami olah agar memudahkan untuk dikonsumsi. Kami memilih mengolah jahe karena bahan bakunya mudah didapat dan lebih mudah diolah." Mulailah Lia dan kelompoknya membuat jahe instan secara manual.
Jahe instan ini lalu dikemas dalam plastik dan dijual di lingkungan tempat tinggalnya seharga Rp 500 per bungkus. Rupanya, tanggapan warga cukup baik, Lia pun percaya diri untuk memproduksi lebih banyak dan memasarkannya lebih luas lagi. "Hanya saja, dari 10-an anggota kelompok tani, hanya saya yang serius menjadikan ini sebagai usaha sampai sekarang," kata Lia yang kini memiliki 6 pegawai.
KOMENTAR