RM Manjabal
Rumah makan (RM) Manjabal 1 pertama kali berdiri di Ciamis, Jawa Barat sekitar 20 tahun lalu. Pendirinya, Hj. Oom Komariah (77), kini telah menurunkan usahanya ini ke anak-anaknya. Salah satunya, H. Nana Sutrisna (55) dan istri, Hj. Nia S. Kurniaty (45), yang membuka Manjabal 2 di Jl. Cijagra 66, Bandung sejak Desember 2003.
Menurut Nana, ibunya dulu memang senang memasak aneka masakan, lalu tercetuslah ide membuat rumah makan. "Masakannya beragam, pokoknya makanan kampung lah."
Hingga kini, Ny. Oom tetap melakukan pengawasan, bahkan masih ke pasar berbelanja bahan baku. "Kata Ibu, kalau enggak masak atau ke pasar, malah jenuh. Cara mengolah masakannya juga masih seperti dulu. Kalau nyambel, ya, diulek dan dihidangkan di cobeknya. Ikan juga harus segar dan langsung diambil dari kolam, bukan yang disimpan lama di freezer. Pokoknya, semua harus mendadak dibikin."
Agar cita rasa masakan tetap terjaga, Nana dan Nia pun tak segan turun ke dapur. Nana dan Nia juga menerapkan sistem kekeluargaan dalam berbisnis. "Pegawai kami anggap anak. Bahkan mereka memanggil saya 'Aa' biar akrab," tukas Nana.
Menurut Nana, kata "manjabal" bisa berarti banyak. Bisa manusia atau masakan zaman bahuela (zaman dulu, Red.). "Bisa juga artinya, buat yang beli dan yang jualan sama-sama saling mendoakan, berjaya, dan maju," ujar Nana. Ny. Oom lah yang memberikan nama itu. "Katanya, biar beda sendiri. Menunya juga asli dari gunung."
Menu makanan di Manjabal amat beragam. Ada Tempe Mendoan, Ikan Bakar Bumbu Reuceuh, Tutug Oncom, Nasi Liwet, dan Tumis Genjer jadi menu andalan. Di hari libur, konsumen yang datang bisa mencapai 200 orang. Kendala yang kerap terjadi, bila genjer tak ada di pasaran.
Menjadi pionir memang membanggakan, apalagi bila banyak yang mulai mengikuti. Inilah yang dialami pasangan Andri Indrawan Ruswendi, SE (32) dan Windy Puspita Anggraeni (27), pemilik RM Tulang Jambal di Jl. Sumur Bandung 7, Bandung. Semua berawal dari sang istri yang senang memasak tumis tulang jambal, masakan khas rumahan orang Sunda. Pasangan ini lalu membuka warung tenda di Jl. Ternate. "Awalnya mau jual ayam goreng, tapi sudah biasa. Jadi saya pikir, kenapa enggak jual tumis tulang jambal buatan istri? Belum ada yang jual dan unik."
Awalnya orang mengira, tulang ikan, kok, dimakan? "Tulang jambal itu bagian tulang ikan asin yang masih ada dagingnya. Lalu, ditumis pakai bumbu-bumbu. Rasanya pedas karena pakai cabai gendot, yang banyak terdapat di Bandung." Paket tulang jambal, terdiri dari nasi, tulang tulang jambal, tahu goreng, tempe bacem, dan lalapan hanya Rp 18.500.
Selain tulang jambal, masakan andalan lainnya, Sambal Puruluk (tabur), sambal yang dikeringkan lalu ditaburkan ke atas ayam goreng atau empal gepuk. "Semuanya resep keluarga, dan sampai saat ini masih diolah sendiri," jelas Andri yang di akhir pekan bisa menjual 500 porsi tulang jambal.
Menurut Andri, kendala ia rasakan tatkala harga cabai meroket beberapa waktu lalu. "Tulang jambalnya, sih, lebih mudah didapat. Dulu, sempat dapat tulang jambal dari Thailand, panjangnya sampai 1,5 meter. Tapi, sekarang banyak dari Indonesia," tutur Andri yang memulai usaha dengan modal Rp 5 juta, hasil menjual ponselnya.
Noverita K Waldan / bersambung
Foto: Noverita K Waldan
KOMENTAR