Denjapi & Bonjapi khas Cimahi Rasanya Seperti Daging
Setiap pulang kerja, Bambang Eko Putro (50) merasa sayang melihat jantung pisang merunduk sampai ke jalan yang dilaluinya tanpa diolah apa-apa. Padahal, saat ia kecil jantung pisang biasa diolah neneknya jadi sayur sebagai teman makan nasi. "Saya pikir, kenapa tidak diolah jadi masakan yang disukai dan dikenal banyak orang," ungkap Bambang saat ditemui di Perumahan Puri Cipageran Indah, Cimahi, Jawa Barat. Akhirnya, Bambang mencoba mengolahnya.
Bermodalkan Rp 500 ribu, Bambang mencoba membuat abon dan dendeng berbahan dasar jantung pisang. Produk ini lalu disebutnya sebagai Denjapi dan Bonjapi, singkatan dari 'dendeng jantung pisang' dan 'abon jantung pisang'. Uniknya, bentuk dan rasanya tak jauh berbeda dengan abon dan dendeng daging.
Menurut Bambang, tekstur serat jantung pisang memang mirip serat daging. Setelah diolah dan menemukan formula yang pas, Bambang serius memroduksi hasil olahannya pada 2003. Awalnya keluarga, tetangga, dan murid-murid Bambang yang diminta mencicipi dua produk tadi. "Ternyata banyak yang bilang enak dan minta dibuatkan lagi. Sejak itu, saya berpikir, kayaknya bisa ditekuni sebagai bisnis," tutur Bambang yang belakangan produknya mendapat juara nasional tahun 2005 di Cimahi.
Sejak itulah, produksi Bambang dikenal dari mulut ke mulut. "Produk saya sekarang jadi oleh-oleh khas Cimahi karena sudah masuk ke toko-toko. Malah pernah pameran di Malaysia. Sya kemas dalm kaleng dan laris sampai 5 ribu kaleng. Sayangnya, ketika ada order berikutnya, saya tidak bisa memenuhi karena mereka minta setiap potongan dendengnya sama. Pasalnya, saya tidak punya mesin pemotongnya. Masih manual pakai tangan, jadi ukurannya tak selalu sama."
Manajemen usahanya pun diakui Bambang, belum rapi. Makanya, ia tak tahu di bulan apa saja dendeng dan abon buatannya akan laku. "Hanya bisa dilihat dari pemesanan, biasanya saat Lebaran dan liburan. Kalau di bulan Januari, agak sepi," jelas Bambang yang mematok harga dendeng dan abon Rp 8 ribu/ons. "Sampai saat ini belum buka toko sendiri. Mending sistem konsinyasi saja, disebar ke toko-toko karena jatuhnya lebih murah."
Kini, Denjapi dan Bonjapi sudah dipatenkan. Bahkan Bambang sudah menerbitkan buku Membuat Dendeng Rendah Kolesterol, berbahasa Indonesia dan Malaysia. "Saya tidak pernah takut disaingi orang lain. Kalau ada yang meniru atau minta diajari, saya malah senang. Kenapa harus dirahasiakan?"
Menurut Bambang, kelebihan abon dan dendeng jantung pisang ini, "Termasuk herbal, sehingga rendah kolesterol. Mudah dicerna karena dari tumbuhan. Rasanya juga seperti daging saja," kata Bambang yang berharap anak-anaknya mau meneruskan bisnisnya. "Biar enggak punah, jadi warga Cimahi punya makanan khas yang bisa dijadikan oleh-oleh."
Inilah kreasi ibu-ibu muda dari Desa Tegalrejo, Sawit, Boyolali. Desa ini memang dikenal sebagai desa lele. Sebagian besar petaninya membudidayakan lele. "Bahkan di sini, sebagian besar sawah yang ditanami padi sudah menjadi kolam lele," kata Triasning Panuntun atau akrab disapa Nining.
Nining menambahkan, dalam sehari Desa Tegalrejo bisa menghasilkan 9 sampai 10 ton lele siap konsumsi. "Lele konsumsi itu lebih banyak dikirim ke pedagang pecel lele di Yogya dan Solo," Ungkap Nining.
Sementara lele yang memiliki berat berkisar antara 3-4 ons lebih ,banyak diminati restoran-restoran pemancingan atau untuk lomba memancing. Harga lele yang besar itu lebih murah dibandingkan dengan lele yang lain. "Nah, bahan abon itu dari lele-lele ukuran besar."
Tahun 2005, Nining belajar membuat abon. Begitu tahu caranya, ia langsung terpikir bagaimana kalau membuat abon dari lele. Berkali-kali ia gagal melakukan percobaan. "Baunya masih amis. Setelah puluhan kali meramu bumbu, akhinya saya menemukan formula agar abonnya tidak amis." Butuh waktu satu tahun untuk menemukan rasa abon yang pas.
Sebagai istri kepala desa, saat itu Nining tak mau menyimpan resep bagi dirinya sendiri. "Tujuan saya belajar membuat abon lele itu memang untuk memberdayakan ibu-ibu di sini. "
Akhirnya, terkumpul 15 ibu-ibu muda. Mereka bergotong royong membuat abon lele di rumah Nining, yang sekaligus dijadikan dapur. "Awalnya, lele-lele itu masih dikonsumsi untuk diri sendiri. Akhirnya, terpikir untuk menjualnya sebagai oleh-oleh khas Boyolali."
Februari 2007, Nining dan kelompoknya menjalankan usaha abon lele secara profesional. "Kebetulan saat itu ada kunjungan Pak SBY ke Boyolali. Nah, sebelumnya saya sudah bikin kemasan yang menarik dan usaha ini juga sudah ada izin resmi. Akhirnya, abon lele ini bisa jadi oleh-oleh para menteri yang mengikuti kunjungan Pak SBY ke Boyolali," jelas Nining yang memberi nama label Karmina, sesuai nama kelompok ibu-ibu, Karya Mina.
Kini, dalam seminggu Nining perlu minimal 280 kg lele segar. Dari bahan itu ia bisa mendapatkan sekitar 80 kg abon lele. "Kalau dari bahan baku, sih, cukup melimpah. Yang jadi kendala itu pemasaran," jelas Nining yang mengaku masih banyak masyarakat yang jijik makan lele. "Padahal lele di sini, pakannya dari pelet, bukan kotoran manusia."
Abon lele saat ini sudah menjadi salah satu makanan khas Boyolali. "Bahkan, sekarang ini kalau ada tamu dari Jakarta ke Pemda Boyolali, mereka pesan abon lele. Selain diajadikan oleh-oleh, juga sebagai teman makan jadah (uli, Red.). Jadah dan abon lele sudah jadi pasangan yang serasi."
Nove, Sukrisna / bersambung
Foto: Nove, Eng Naftali
KOMENTAR