Sabtu (5/2) dinihari, seperti biasanya, aku sudah bangun, lalu menyiapkan jualanku, nasi jagung beserta lauknya. Usai membuat 20 bungkus nasi jagung, aku pamit jualan ke Bapak (suami, Red.). Dari rumah kami di Gang Tajungan, Probolinggo (Jawa Timur), aku jalan kaki keluar-masuk gang menawarkan dagangan. Biasanya, sehari bisa dapat hasil kotor Rp 60- 70 ribu.
Usai jualan, sekitar jam 09.00, aku istirahat karena lelah. Entah kenapa, tanpa sebab yang jelas, suamiku marah-marah. Sudah beberapa bulan ini Bapak sering marah-marah setiap aku pulang jualan. Kayak orang kesetanan. Malah dia pernah bilang, aku sering digoda lelaki saat jualan. Buatku, ini tuduhan yang ngawur. Kami, kan, sama-sama sudah tua.
Sambil marah-marah, dia minta makan. Karena dia memang tidak suka nasi jagung yang kubuat, kubelikan nasi pecel. Eh, dia masih juga marah. Malah, dia sempat memukulku dengan tongkat yang selalu dibawanya. Dia memang sering pakai tongkat karena pernah stroke. Meskipun, kini kondisinya sudah jauh lebih baik. Pukulannya masih kencang dan mengarah ke seluruh bagian tubuhku. Tubuhku sampai benjol-benjol.
Sambil menahan sakit, aku ke dapur untuk masak. Airmataku terus menetes. Antara sakit dan sedih karena baru kemarin malam ia memukulku, hari ini sudah melakukannya lagi. Tak lama kemudian, Bapak berteriak lagi, "Dik, minta minum!" Dengan sabar kuambilkan air, dia pun meminumnya. Tanpa kuduga, ketika aku kembali melangkah ke dapur, gelas itu dilempar ke arahku dan mengenai tengkuk. Sakit rasanya.
Entah kenapa, saat itu aku merasa ingin melawan. Ingin berontak. Aku pun gelap mata. Kuambil minyak tanah dan kutuangkan ke dalam gayung lalu kusiramkan ke tubuh Bapak yang sedang tiduran di kamar. Lalu kunyalakan korek api, dan wussss... dalam sekejap tubuh Bapak terbakar. Ia menjerit kesakitan. Saat itulah aku sadar dan menyesal. Aku lari ke luar rumah untuk minta tolong. Ada tetangga yang menolong, memadamkan api di tubuh Bapak.
Bersama tetangga pula, aku sempat membawa Bapak ke rumah sakit, naik becak. Karena luka bakarnya parah, Senin (7/2) Bapak meninggal dunia. Meski semula mengingkari perbuatanku, akhirnya aku mengaku kepada polisi dan ditahan.
Di dalam penjara, aku kerap menyesali yang telah terjadi. Tak kuduga pernikahanku dengan Bapak malah berakhir seperti ini. Padahal, ketika dinikahi Bapak secara siri setahun lalu, aku berharap dapat hidup tenang. Kami, kan, sudah sama-sama tua. Aku bisa merawatnya, sebaliknya dia membantu menafkahi hidupku.
Sebelum menikah dengan Bapak, aku janda tanpa anak. Selama ini, aku memang jualan nasi jagung. Aku yang berasal dari Lumajang, mengontrak rumah kecil yang sederhana, juga di kawasan Bapak tinggal. Tiap hari ia membeli sebungkus nasi jagung. Dari perkenalanku dengan Bapak, aku tahu ia pensiunan PJKA, duda cerai, dan punya empat anak yang sudah mandiri. Ia tinggal sendiri di rumahnya.
Suatu kali dia mengajakku menikah, kutolak. Tapi, ia terus merayu hingga akhirnya aku luluh dan bersedia dinikahi siri. Soalnya, kata Bapak, kalau kawin resmi, dia merasa tak enak kepada anak-anaknya, khawatir aku dibilang mau minta rumah warisan Bapak setelah dia meninggal nanti. Padahal, aku menikah dengannya bukan karena ingin hartanya. Aku hanya ingin hidup tenang.
Sifat Asli
Selanjutnya, aku tinggal di rumah Bapak. Segalanya berjalan baik. Bahkan dia bilang, meski rumahnya tak akan jadi milikku, namun ia akan membelikan sawah untukku. Katanya, untuk masa tuaku nanti. Rasanya bahagia sekali waktu itu.
Siapa sangka, damainya rumah tangga kami hanya berlangsung selama tujuh bulan. Usai itu, ia berubah kasar dan suka memukul. Belakangan baru kutahu dari cerita tetangga, Bapak memang temperamental. Pernah aku sampai mengadu ke Pak RT karena tak kuat dipukuli. Di depan Pak RT, Bapak seolah menyesal. Tapi, begitu Pak RT pulang, sikapnya kasar lagi. Sejak itu, apa saja yang kulakukan, rasanya semua salah.
Hari demi hari, aku terus dipukul dengan tongkatnya atau disabet dengan rotan. Beberapa bagian tubuhku sampai kini masih membiru (Su memperlihatkan anggota tubuhnya yang memang tampak lebam, seperti tangan, kaki, dan tengkuk, Red.)
Begitulah nasibku, orang miskin yang hidup dengan orang mapan. Kini, aku menyesal. Tapi, lebih menyesal lagi karena sudah menikah dengan Bapak. Sudahlah, toh, semua sudah terjadi. Aku tak tahu bagaimana nasibku esok nanti. Aku tak punya rencana apa-apa. Aku hanya bisa pasrah. Semoga Tuhan mengampuni dosaku.
Henry Ismono / bersambung
Foto-Foto: Henry Ismono
KOMENTAR