Sejak buka jam 07.00 pagi sampai jam 15.00 sore, warung sate ayam dan kambing H. Romli (50-an) yang berlokasi di depan Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) nyaris tak pernah sepi. Padahal, warung tendanya terkesan biasa saja. Namun, pelanggannya banyak yang bermobil. Tak jarang ada yang membungkus sampai ratusan tusuk. "Sering orang membawa pulang 100-500 tusuk. Mungkin untuk acara di rumah," tutur Romli, saat dijumpai di rumahnya di Gang Jakman, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Romli mengibaratkan usahanya seperti perjalanan hidup manusia. Ketika kecil merangkak, belajar berjalan, "Sekarang sudah bisa berlari. Bukan mau sombong, di kalangan penjual sate, saya termasuk juaranya," kata bapak empat anak asal Bangkalan, Madura ini.
Bayangkan saja, rata-rata per hari Romli bisa menjual 4-5 ribu tusuk sate ayam. Untuk Sabtu-Minggu, dagangannya melonjak tajam sampai 7-10 ribu tusuk. "Jualan utama saya sate ayam. Memang ada sate kambing, tapi sifatnya hanya pendukung. Untuk sate kambing, paling sehari hanya seribu tusuk. Sabtu-Minggu, pembeli sampai antre. Mirip antre tiket Lebaran. Banyak yang makan sambil berdiri karena tak kebagian tempat duduk," papar Romli sambil tertawa.
Romli juga bangga, satenya sering dikunjungi pesohor Jakarta. "Pak Gubernur Fauzi Bowo pernah menyantap sate saya. Bahkan, saya pernah mengirim sate sampai ke luar kota dan luar negeri," katanya yang punya 20 karyawan.
Tentu saja, keberhasilan usahanya melalui proses jatuh-bangun. Romli mengenang, ia semula berjualan keliling menempuh perjalanan dari rumahnya di Kebayoran Lama menuju Gandaria, Radio Dalam, Panglima Polim, Dharmawangsa, dan Prapanca. Semula, hanya butuh satu ekor ayam. Itu pun tak habis. "Sehari paling hanya laku 2 porsi. Tapi, saya terus bertahan, sampai punya pelanggan. Tak sampai setahun, saya mangkal di depan RSPP dari pagi sampai siang. Sorenya saya masih keliling sambil memberi tahu pelanggan akan pindah ke RSPP. Jadi, pelanggan sudah tahu saya ada di mana."
Bubur ayam Bang Tatang termasuk laris manis. Buka jam 18.00, tiga jam berikutnya biasanya langsung ludes. Padahal dari sisi harga, bubur ayam ini relatif mahal dibandingkan bubur ayam lainnya. Per mangkuk Rp 16 ribu, tapi kalau dibawa pulang Rp 17 ribu. Selisih Rp 1.000 ini untuk mengganti ongkos wadah. Warung milik Tatang (50) pun jauh dari mewah, berlokasi di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat.
Ketika pertama kali buka tahun 80-an, "Harganya sudah lebih mahal dibanding bubur ayam lainnya, satu mangkuk Rp 600. Yang lain paling Rp 300. Harganya mahal karena saya mengutamakan kualitas. Sejak dulu sampai sekarang, saya pakai ayam kampung. Mulai dari harga per ekor Rp 2.500 sampai sekarang ayam kampung jago yang besar harganya Rp 90 ribu," kata Tatang yang saat ditemui sedang membersihkan ayam kampung di rumahnya.
Suwiran ayamnya berlimpah. Satu ekor ayam, hanya cukup untuk 10-12 mangkuk. Ditambah emping goreng plus kacang kedelai goreng, buburnya yang gurih bikin pembeli ketagihan. "Bubur saya juga kental, ibarat lengket di mangkuk. Rasanya gurih, tapi tanpa penyedap rasa. Kuncinya, pakai kaldu ayam kampung," katanya seraya menjelaskan rata-rata per hari membutuhkan 90 ekor ayam jago. "Dulu, sih, paling hanya 5 ekor."
KOMENTAR