Tak ada yang menyangkal air susu ibu (ASI) memang sangat penting bagi bayi. Sayang, tak semua ibu melahirkan bisa memberikan ASI bagi bayinya. Kondisi inilah yang memunculkan adanya donor ASI. Namun, belakangan ini ada pula yang menjual ASI. Di Batam, Rio (33), sebut saja begitu, mengaku menjual ASI ke ibu yang baru melahirkan dan membutuhkannya.
Bukan ASI milik istrinya yang ia jual, melainkan milik ibu-ibu lain. Pria yang mengiklankan usahanya lewat internet ini mendapat klien dari dunia maya pula. "Biasanya para pembeli adalah ibu yang ASI-nya hanya keluar sedikit atau bahkan tidak keluar sama sekali. Juga yang ibunya tidak selamat sehingga si bayi harus mendapat ASI dari orang lain," ujar Rio saat dihubungi.
Bila seorang klien menghubunginya, Rio biasanya minta waktu satu minggu untuk mencarikan ibu yang bersedia menjual ASI-nya. "Penjualnya harus yang punya ASI berlebihan. Kalau jumlah ASI yang dihasilkan jumlahnya hanya standar saja, biasanya si penjual juga enggak mau kasih karena cuma cukup diminum anaknya sendiri," lanjutnya.
Satu Untuk Satu
Meski tak menggunakan data penjual dan pembeli yang cukup detail dan jelas untuk diarsipkan, Rio menjamin ASI yang dijualnya tidak dicampur dengan ASI lain maupun kandungan zat lain. Sebab, ASI yang diambil dari ibu "penjual", langsung diantarkan ke rumah si pembeli. Sistem antar-jemput ASI ini berlangsung setiap hari, begitu ASI selesai diperah ibu penjual.
Rio memang mengharuskan ASI yang dijual masih segar dan diperah pada hari yang sama dengan waktu pengantarannya. Kalaupun terpaksa menginap, hanya boleh disimpan selama satu malam saja, disimpan dalam kulkas atau termos berisi es batu di rumah si penjual.
Selanjutnya, ASI yang diantar-jemput oleh tukang ojek langganan Rio ini disimpan dalam termos berisi es batu, lalu diantar langsung ke rumah pembeli. Setiap hari, pembeli mendapatkan ASI sebanyak 3-4 botol berukuran sekitar 200 ml.
Masalah saudara sepersusuan yang kerap menjadi persoalan dalam pendonoran ASI, juga diperhatikan Rio. "Makanya, saya hanya memberlakukan sistem satu untuk satu. Maksudnya, satu penjual hanya untuk satu pembeli. Jadi, ASI penjual yang satu tidak diberikan ke pembeli yang lain," jelas pria berlogat Jawa ini.
Pada pihak pembeli, Rio memberlakukan sistem kontrak, biasanya berlangsung antara 1-3 bulan. Jadi, selama itu pembeli akan mendapat pasokan ASI. Nilai kontraknya cukup mahal, yaitu Rp 3 juta per bulan yang dibayar di muka. Karena itu, biasanya pembeli ASI berasal dari kalangan yang secara finansial sudah mapan. Sedangkan "penjual" biasanya berasal dari kalangan tidak mampu. "Kebanyakan penduduk Batam adalah perantau. Ketika melahirkan, mereka tidak bisa bekerja untuk sementara, tak ada pemasukan. Mereka sangat senang ketika ditawari menjual ASI-nya yang berlebih."
Dari nilai Rp 3 juta, dibagi sama besar antara Rio dan "penjual". Tapi, jumlah milik Rio masih harus dipotong gaji tukang ojek yang dikontrak Rio sekitar Rp 500 ribu per bulan. "Kadang saya juga cuma dapat Rp 500 ribu per bulan karena ongkos ojeknya mahal dan sepi pembeli." Sejak hampir setahun silam usahanya ini dimulai, kliennya tak sampai 10 orang.
Yang pasti, lanjutnya, selama ini ia belum pernah dapat keluhan dari kliennya. "Saya juga selalu mewanti-wanti pemberi ASI untuk memperbaiki gizinya agar ASI yang diproduksi tetap banyak. Biasanya kalangan seperti ini, kan, hanya mementingkan asal kenyang. Makanya saya berpesan, uang yang diterima harus dipakai untuk memperbaiki gizi, misalnya makan sayur katuk dan sayuran hijau lain," tandas Rio yang menjamin kondisi pemberi ASI tidak menderita penyakit atau bermasalah.
Kegiatan yang dilakukan Rio, kata Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Mia Sutanto, pernah didengarnya. "Sebaiknya, sih, jual-beli ASI tidak dilakukan karena dikhawatirkan akan terjadi ekses. Soal donor saja, saat ini malah ada ibu yang merasa tak perlu susah-susah menyusui karena beranggapan bisa minta dari pendonor. Apalagi ini, diperjualbelikan," ujar Mia.
Donor ASI, lanjutnya, masih jadi hal yang mengundang pro-kontra. Hal ini disadari AIMI. Namun, AIMI punya dasar prinsip dalam memfasilitasi donor ASI ini. Sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO), kata Mia, yang paling ideal memang bayi menyusu langsung dari ibunya.
Bila tak bisa dilakukan, bayi sebaiknya minum susu perahan dari ibunya sendiri. "Kalau itu juga terpaksa tak bisa dilakukan, bayi bisa minum susu perah dari ibu lain. Bila itu juga tak bisa dilakukan, baru bayi minum susu formula. Jadi, donor ASI lebih dipilih dibanding susu formula," tandas Mia.
AIMI yang beranggotakan para perempuan peduli ASI, merupakan komunitas yang memperbolehkan anggotanya melakukan donor ASI.
Berbeda dengan Rio, AIMI memfasilitasi pendonor dan penerima donor secara gratis. Sistem yang diberlakukan AIMI pun berbeda dari Rio. Soal donor, papar Mia, sebaiknya dikembalikan ke esensi dasar dalam mendonorkan ASI. "Donor, kan, harusnya tanpa pamrih, seperti halnya donor darah, meski dalam agama tertentu, ibu susu (pendonor) boleh dibayar sepantasnya," tuturnya.
Selain tanpa pamrih, yang juga harus diperhatikan dalam donor ASI, lanjut Mia, tidak digunakan sebagai solusi jangka panjang. Bila ibu bayi bermasalah sehingga tak bisa memberikan ASI (dalam pengobatan) atau kondisinya memengaruhi produksi susu, ASI dari pendonor bisa jadi solusi, sambil berkonsultasi ke konselor laktasi.
Di AIMI, lanjut Mia, tak ada pendonor dengan nama anonim karena ia harus mencantumkan data lengkap, antara lain usia, nomor KTP, alamat, nomor kontak, riwayat kesehatan, termasuk apakah merokok dan mengonsumsi alkohol atau tidak, mengidap HIV atau tidak, dan sebagainya. Lalu, formulir itu ditandatangi dan bermaterai. "Kami minta mereka menjawab jujur. Sejauh ini, belum pernah ada masalah."
Untuk mengantisipasi terjadinya ASI bermasalah, AIMI biasanya minta penerima donor melakukan flash heating, yaitu proses pemanasan ASI dalam temperatur tinggi selama beberapa detik. "Ini berguna untuk membunuh bakteri, kuman, bahkan virus HIV/ AIDS," tuturnya. Cara ini, katanya, pertama kali digunakan di Afrika untuk mencegah bayi yang minum ASI tertular HIV/AIDS dari ibunya.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR