Hari masih terik. Matahari tepat di atas kepala. Tapi tak menyurutkan semangat Ny.Jumadi membolak-balik jemuran gabah dengan jemarinya. Gabah milik wanita tua itu kini bukan lagi berwarna kuning keemasan, melainkan abu-abu lantaran bercampur lumpur lahar dingin Gunung Merapi.
Padi abu-abu itulah harta tersisa Ny.Jumadi usai bencana banjir lahar dingin yang menyapu desanya, Minggu (9/1) pekan lalu. Sementara rumahnya sudah lenyap tak berbekas disapu banjir pasir bersama batu sebesar meja.
Rumah yang tak berbekas itu kini hanya diberi penanda papan bertuliskan "Dulu tempat tinggal P Jumadi." Sementara di sampingnya ada kotak yang berisi beberapa lembar uang ribuan sumbangan para "wisatawan bencana." Di tempat itulah pasangan suami-istri Jumadi tiap siang tinggal. Selain menunggu kotak, mereka juga menunggu para kerabat datang menjenguknya.
Rabu (13/1) siang beberapa kerabat Jumadi tampak datang dan menghibur ibu tiga anak ini. Begitu juga teman-teman kantor anak sulungnya yang menjadi pegawai negeri juga ikut bersimpati pada keluarga sederhana ini. "Tiap malam saya tinggal di pengungsian di Karanglo," jelas Ny. Jumadi yang sejak seminggu lalu sudah tak tidur di rumahnya. "Pak Dukuh sudah memerintahkan kami untuk mengungsi," tambahnya.
Selain itu, hingga Rabu lalu, pasangan ini bersama anak bungsunya masih mencari sisa-sisa rumahnya yang mungkin masih ditemukan di hilir, akibat tersapu banjir. Siang itu si bungsu Anto, terlihat menenteng sebuah tebeng motor serta memandangi beberapa ekor ayam peliharaannya yang masih berkeliaran di sekitar bekas rumahnya. Siang itu Anto berharap, kusen-kusen pintu dan jendela jati yang diharapkan masih nyangkut di hilir. Ternyata ditelusur hingga sejauh satu kilometer, tak bisa ditemukan lagi. Padahal, ayahnya sudah diwanti-wanti bila menemukan kusen pintu miliknya langsung ditandai."
Hilangnya Rumah & Pekerjaan
Bencana besar, hari Minggu lalu, kata Jumadi adalah kali ke-4. Banjir pertama dan kedua, rumahnya belum tersentuh lumpur. "Tapi banjir ketiga, pasir mulai masuk rumah. Siangnya kami langsung bersih-bersih rumah. Bahkan malamnya sebagian warga masih ada yang tinggal di rumah karena cuaca cerah. Eh.... malam berikutnya, bencana itu datang lagi."
Ketika bencana datang, semua warga Jumoyo berada di pengungsian, perasaannya was-was. Mereka semua terdiam mendengarkan suara gemuruh yang berasal dari Sungai Putih yang membelah desanya. "Suara itu makin lama makin kencang dan diselingi gemludug hingga menggetarkan kaca jendela balai desa, tempat pengusian yang jaraknya hampir 1 kilo. lIstrik juga mati. Semua sudah pasrah. Banjir kali ini sangat besar. Seumur-umur baru kali ini terjadi," tambahnya.
Dua jam kemudian, suara itu menghilang. Dengan menggunakan obor Jumadi dan beberapa warga melihat kondisi rumahnya. Sayangnya, mereka tertahan di Jalan Yogja - Magelang lantaran air masih tinggi. Jumadi pun memilih pulang ke pengungsian. Barulah keesokan harinya ia kembali menengok rumahnya. Betapa paniknya Jumadi ketika mendapati rumahnya sudah tak kelihatan. "Saya nekat menerjang air, tapi banyak warga mencegah. Akhirnya, saya dinaikkan bolduzer agar bisa melihat kondisi rumah saya."
Tiba di lokasi rumah, Jumadi lemas. "Tulang serasa dilolosi. Habis rumahnya tak ada lagi. Yang tersisa ada Cuma hamparan pasir dan bongkahan batu sebesar sofa. Rasanya saya tak percaya, rumah itu hilang begitu saja," sambat Jumadi.
KOMENTAR