Dijual Satuan
Sejak matahari belum menampakkan sinarnya, Sumadi, pedagang sayuran di Pasar Palmerah, Jakarta Barat, sudah memilah cabai rawit merah. Yang agak busuk dipisahkan, sementara yang bagus terjual dengan harga Rp 90 ribu per kilogram.
"Sejak harga cabai melangit, meski agak busuk, masih ada yang mau beli. Paling enggak sekilo bisa Rp 20 ribu," terang Sumadi yang mengaku hanya mengambil untung Rp 5 ribu per kilogram dari harga kulakan di Pasar Induk Kramat Jati.
Yang sedikit agak "murah" kata Sumadi adalah cabai merah polong yang dijual Rp 50 ribu. Sementara cabai merah besar keriting Rp 60 ribu. "Yang paling murah, ya, cabai rawit hijau."
Meroketnya cabai merah keriting juga membuat pusing Tahir, pedagang bumbu giling di Pasar Palmerah. Agar pelanggannya tetap bisa membeli bumbu cabai giling, ia sengaja mencampur cabai merah besar dan cabai rawit. "Per kilo sekarang Rp 60 ribu," tegasnya. Meski dua kali lipat dari harga biasanya, pelanggannya tak berhenti membeli bumbu giling darinya. "Tetap laku, kok," tambahnya.
Naiknya harga cabai tak hanya melanda Jakarta. Di berbagai kota besar seperti Pekanbaru dan di Pasar Sentral Medan juga meroket. Kenaikan itu sudah dimulai seminggu sebelum Natal tiba. Harga cabai rawit yang biasanya Rp 20 ribu, merangkak jadi Rp 30 ribu, lalu Rp 40 ribu, dan kini mencapai Rp 60 ribu per kilogram. Yang paling murah cabai hijau, yakni Rp 50 ribu.
Rumah Makan Ranah Minang di kawasan Ciledug, Tangerang, sejak dua tahun lalu punya inovasi baru. Yakni menjual seporsi hidangannya serba Rp 6 ribu, sementara lauknya saja, cukup Rp 4 ribu.
Namun, kenaikan harga cabai akhir-akhir ini jelas membuat pemiliknya, Uda Son, pusing tujuh keliling. "Untungnya saya masih bisa beli dari pemasok langganan seharga Rp 75 ribu per kilo. Sementara di tempat lain sudah Rp 90 ribu," terang Son yang bertekad tak ingin mengurangi bumbu, terutama cabai. "Habis kalau dikurangi, rasanya jadi beda. Masakan Padang, kan, ciri khasnya di olahan cabai," tegasnya.
Pernah, Son menyiasati olahan masakannya menggunakan cabai hijau, namun dampaknya, di rasa jadi sangat berbeda. "Apalagi untuk sambal, harus pakai cabai keriting. Akhirnya, saya kentalkan bumbunya dan dikurangi porsinya. Biasanya tiga sendok untuk sayur, kini hanya dua sendok. Kadang saya suka kasih pengertian ke konsumen, ini semua gara-gara cabai," jelas Son yang memiliki 4 cabang rumah makan Padang.
Entah ada hubungannya dengan bumbu cabai yang dikurangi atau tidak, tapi Son kini mengaku prihatin lantaran pelanggannya jadi berkurang. Biasanya dalam sehari bisa memotong 100 ayam, kini hanya 40 potong saja.
"Akibatnya, saya tidak bisa kasih bonus sama karyawan karena anggarannya saya pakai untuk membuat bumbu. Untungnya mereka mau mengerti dan tahu kondisinya. Toh, mereka tetap terima gaji. Saya, sih, berharap semoga kenaikan harga cabai tidak berlarut-larut."
Sementara perusahaan katering besar seperti Pe'De Catering Jakarta juga merasakan dampak harga cabai, kendati tak terlalu besar. Soalnya, pelanggannya tak semua penyuka pedas, terutama keluarga yang anak-anaknya masih kecil.
Menurut pemilik Pe'De Caatering, Rini Widijati (39), ada beberapa menu di Pe'De Catering miliknya yang mengandalkan bumbu cabai, antara lain balado ikan asin, tuna cabai hijau, balado tuna, dan tentu saja sambal. "Ada pelanggan yang amat suka pedas. Jadi saya tetap menyediakan menu pedas. Untungnya mereka mengerti dan minta saya tak terlalu banyak memberi sambal."
Setiap kali bikin sambal, sedikitnya Rini membutuhkan 3 kg cabai rawit merah. Kendati harga cabai sedang mahal, Rini belum akan menaikkan harga kateringnya. "Sebetulnya, harga mahal tak jadi masalah, asal bahannya tersedia. Apalagi kami mengutamakan kepuasan pelanggan. Yang jadi masalah justru kami sering kesulitan mendapatkan cabai hijau. Pernah stoknya kosong di pedagang sayur langganan. Saya sampai pusing mencarinya," imbuhnya.
Rini, Debbi, Nove, Hasuna / bersambung
KOMENTAR