Namaku Erli Erla Wati (43). Profesiku kini, sebut saja sebagai perajin clay. Dulu, aku sempat bekerja sebagai akunting, maklum aku lulusan jurusan akuntansi di sebuah universitas di Jakarta. Namun, sejak aku menikah dengan Iwan Santosa (45), dia memintaku berhenti bekerja. Suamiku dulu teman sekampus, hanya bedanya dia jurusan kedokteran. Kini, dia tentu saja sudah menjadi dokter.
Setelah menikah, aku melahirkan dua anak, Irena Santosa yang kini berusia 17 tahun dan Ivana Santosa yang kini berumur 4 tahun. Lantaran kedua anakku sudah mulai beranjak besar, aku yang sehari-hari mengurusi rumah tangga akhirnya mulai mencari-cari kegiatan untuk mengisi waktu luang di rumah. Kebetulan, suamiku mengizinkan aku bekerja lagi, asalkan tidak sampai meninggalkan anak.
Jual Kerajinan
Selama di rumah, sebetulnya aku tidak murni menganggur. Sembari mengurus suami, anak-anak dan rumah tangga, aku melakukan kegiatan merajut aneka tas, membuat kerajinan dari pita, dan barang keterampilan lain.
Setelah terkumpul, barang-barang itu aku jual. Lumayan, ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk mengisi waktu senggang. Yang kuinginkan waktu itu hanya membuat sesuatu yang bisa dijual cepat tapi mudah dipelajari.
Aku mempelajari semua itu secara otodidak, dari buku. Namun, aku sempat menghentikan hobiku ini ketika anakku lahir karena ingin fokus merawat anak. Aku baru mulai melakukannya lagi setelah Irene berusia dua tahun. Namun, ternyata perjalanan berbisnis kecil-kecilan seperti ini tetap saja ada risikonya. Aku sempat berhenti berjualan, karena saat itu barang-barangku dibeli orang, tapi tidak dibayar.
Aku lalu banting setir, mencoba beberapa usaha baru. Antara lain, membuka salon dan menjadi supplier bahan bangunan. Namun, usaha ini kurang disetujui suamiku karena aku jadi tidak bisa diam di rumah dan mengurus anak. Sebab, aku harus sering bepergian.
Aku lalu putar otak agar bisa tetap bekerja dari rumah. Pilihanku jatuh pada keterampilan. Aku memulainya dari membuat aneka rajutan.
Merajut bukanlah hal yang sulit buatku. Sebab, aku sudah disuruh belajar merajut oleh ibu sejak aku berusia 4 tahun. Ibuku yang hidup di zaman penjajahan berpendapat, seorang perempuan haruslah punya keterampilan. Jadi, beliau mewajibkan anak-anaknya belajar merajut, yang waktu itu diajarkan oleh seorang suster yang bekerja pada keluarga Belanda. Mungkin karena umurku masih sangat kecil, ketika itu aku tidak suka merajut. Namun, ibuku tidak mau tahu. Pokoknya, harus belajar merajut.
Kalau tidak mau belajar, aku dicubit ibuku sampai menangis. Akhirnya, aku terpaksa mau belajar merajut. Kami yang tinggal di desa kecil di daerah Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, memang bukan keluarga mampu. Untuk membeli jarum rajutnya saja, ibuku harus datang ke tukang tambal ban dan mencari jari-jari roda sepeda. Setelah itu, beliau akan pergi ke tukang bubut untuk menjadikannya batang logam itu lancip sehingga bisa dijadikan jarum rajut.
KOMENTAR