Menginap di Pesawat
Pernah menjadi rekan kerja di sebuah perusahaan media cetak yang sama membuat Mulya Sari (35) dan Popy Fitria (35) akhirnya sepakat mendirikan Club Sandwich (CS), sebuah bisnis yang berkecimpung di dunia menata makanan alias food stylist. Popy memang suka memasak dan sempat bersekolah di bidang itu ketika mengikuti suaminya tugas ke Boston, Amerika.
Pulang ke Jakarta, tahun 2002 ia bergabung dengan sebuah majalah wanita. Untuk desk boga yang dilamarnya, salah satu tesnya adalah menata makanan. Popy lolos seleksi. Kemudian ia pun berkenalan dengan Sari, rekan satu desk.
Akhir tahun lalu, keduanya sepakat mendirikan CS. "Awalnya, kami sering saling melempar job food styling dari klien kalau jadwal terlalu padat. Akhirnya kami bikin CS," timpal Sari.
Menata makanan agar menimbulkan selera penikmat foto, ada triknya. "Menata es krim, misalnya. Tidak bisa pakai es krim asli, karena akan meleleh terkena panas lampu kamera. Jadi kami akali dengan membuat adonan yang mirip es krim aslinya. Tiruan es krim tidak bisa dimakan," cerita Popy.
Permintaan klien tak jarang memang sangat sulit, tetapi harus dipenuhi. Pernah, klien meminta piring saji bernuansa Maroko kuno. "Seantero Jakarta kami telusuri, tetap tidak ketemu. Akhirnya piring polos kami warnai sendiri. Senang rasanya klien puas, meski kami seperti diospek," lanjutnya geli.
Pernah pula, keduanya menginap dua malam di pesawat untuk pemotretan makanan ketika sebuah maskapai penerbangan akan merilis destinasi ke Eropa dengan pesawat baru. "Dua hari nonstop kami gantian bekerja, dari pagi sampai pagi. Senang sih, merasakan ruang kelas satu pesawat itu. Sayang, pesawatnya cuma parkir. Ha ha ha..."
Meski bikin stres saat persiapan pemotretan atau syuting, menjadi food stylist akhirnya mantap dipilih Fajar Ayuningsih (40). Menjadikan makanan terlihat cantik dan seksi jadi tantangan tersendiri buatnya. Padahal, semua hal harus diperhitungkan dengan cermat saat persiapan, agar tidak perlu mengulang dua kali. Perempuan yang lahir dan besar di Surabaya ini pun rela "pindahan" setiap kali ada job pemotretan makanan.
Maklum, ada 4-5 kontainer piranti saji yang harus dibawanya. Misalnya, kompor, oven, bahkan kulkas. "Propertinya harus banyak pilihan. Jadi, kalau klien tidak suka dengan piranti yang saya ajukan, bisa langsung memilih yang lainnya, tak perlu pulang lagi," ujar Fajar yang juga mengajar food photography di Darwis Triadi School of Photography. Selain itu, penampilan makanan yang akan difoto harus benar-benar tampak bagus, maka belanja bahan pun tak bisa sekadarnya.
Untuk mendapatkan sayuran atau buah yang bagus, Fajar bisa memburunya di lima tempat sekaligus dalam sehari. Untuk ikan segar, misalnya, Fajar membeli dalam empat ukuran, yaitu kecil, sedang, agak besar, dan besar. "Yang paling susah mengerjakan bahan segar, seperti ikan. Sebab, tidak fotogenik dan di pasar sudah dibanting-banting penjual. Supaya ikan terlihat "tersenyum", harus diakali dengan tusuk gigi."
Untuk mengangkut semua perlengkapan itu, Fajar butuh dua hari. Sehari sebelum hari H, properti dikirim ke lokasi pemotretan. Bahan segar dikirim pada hari H. "Sebelum produksi, ada pre production. Pada tahap ini, art director, fotografer, dan food stylist mendiskusikan persiapannya. Persiapan harus 95 persen di tangan sebelum hari pemotretan," urainya. Lantaran rumit inilah, ia menolak permintaan dadakan.
"Minimal seminggu sebelum pemotretan," tandas perempuan yang belajar menjadi food stylist secara otodidak.
Fajar mengawali kariernya dengan menjadi redaktur boga sebuah majalah wanita tahun 1993. Sekitar 1-2 tahun kemudian, ia memberanikan diri menerima tawaran untuk iklan dari produsen minyak, es krim, penyedap rasa, dan sebagainya. Kini, ia lebih banyak mengerjakan pemotretan untuk iklan media cetak, buku resep, serta menulis buku sendiri.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR