Orangnya humoris dan religius. Bisa dibilang lemah lembut karena dia memang sangat penyabar dan tidak pernah kasar. Namun, sesungguhnya di balik semua sifatnya itu, dia amat teguh pada prinsipnya. Tak bisa ditawar-tawar lagi.
Apa yang paling prinsip bagi suami?
Terutama soal kejujuran, kemanusiaan, dan kepeduliannya kepada masyarakat kelas bawah. Ini, kan, visi hidunya. Makanya, dulu dia dikenal sebagai "Pengacara Jalanan" yang membela rakyat miskin, bukan advokat yang glamor.
(Soimah lalu menunjukkan sejumlah poster dengan kalimat-kalimat tegas bernada persuasif seperti "Lawan Mafia Peradilan!" dan "Rumah Ini Bebas dari Kuman Mafia Peradilan" yang dipajang di ruang tamunya.)
Benarkah semasa kecil suami sering berkelahi?
Ya! Saya tahu dari buku biografinya ha...ha...ha... Karena sering sekali berkelahi, dia sampai harus dipindahkan sekolah oleh ibunya. Tapi itu hanya kebiasaan masa kecilnya saja. Menginjak SMP, dia mulai senang berorganisasi. Ketika di SMA (Muhammadiyah 1 Yogya), bersama MH Ainun Najib, teman satu kelasnya, mereka pernah juga mendemo gurunya untuk hal yang dianggapnya prisnip.
Soal anak, bagaimana cara dan gaya mendidik mereka?
Tak jauh berbeda dengan idealisme kami. Contohnya, waktu Bapak menjadi dekan, menjelang Idul Fitri banyak sekali parsel datang ke rumah. Anak-anak yang saat itu masih kecil-kecil, senang melihat kue-kue dan permen yang disusun menarik dalam boks-boks itu. Anak-anak ingin sekali membukanya, tapi dilarang ayahnya.
Kenapa?
Dia harus melihat dulu siapa pengirimnya. Jika dari saudara, boleh dibuka. Tapi jika berkaiatan dengan jabatan, parsel itu harus dikembalikan ke fakultas. Pernah juga ada mahasiswi datang ke rumah bawa biskuit sekaleng. Bapak bilang, biskuit itu harus dibawa pulang lagi. Si mahasiswinya sampai menangis. Jika saya ada di posisi mahasiswi itu, saya juga mungkin akan menangis, ya.
(Tak jauh berbeda dengan Busyro, Soimah pun mengabdikan diri sebagai pendidik, profesi yang dianggapnya mulia. Soimah mengajar di MAN 1 Yogyakarta sebagai guru Sosiologi.)
Kami memang berasal dari keluarga desa yang sederhana. Bapak berasal dari keluarga guru. Kami sudah 18 tahun tinggal di rumah ini, yang kami bangun sedikit demi sedikit. Dulu, di sekitar sini masih banyak sawahnya. Kami punya tiga anak, Rahma Kusuma Fitri (21), Muchlas Hamidy (19), dan Farah Kurniawati, (18). Kesederhananaan sikap kami ini juga menurun ke anak-anak.
Anak sulung saya kos di tempat yang biasa saja. Tidak ada AC atau kamar mandi di dalam kamar. Karena dekat kampus, dia pergi kuliah berjalan kaki. Pernah, lho, ketika ada temannya yang tahu Rahma itu anaknya Busyro, teman lainnya enggak percaya ha...ha...ha... Temannya menganggap, anak pejabat sepertinya harus tampil glamor.
Kebetulan anak-anak juga termasuk tipe orang yang tidak mau diketahui mereka anak siapa. Mereka juga sebetulnya merasa berat ketika mendapat publikasi. Menjadi anak seorang Busyro sepertinya beban buat mereka, karena orang lain akan menilai dan membandingkannya terus dengan bapaknya. Mereka ingin menjadi diri sendiri.
Kapan suami berkumpul dengan keluarga?
Ya, diusahakan dua minggu sekali Bapak pulang ke Yogya. Tapi, pernah juga karena sibuk sekali, enggak bisa pulang selama sebulan.
(Sejak 2004, Busyro tinggal di rumah dinasnya sebagai Ketua Komisi Yudhisial di Jakarta.)
Sedih, dong?
Yah, begitulah, saya rasanya seperti single parent, ha...ha...ha.... Segala urusan rumah tangga, saya yang menangani. Jika pulang, dia sering mengajak makan mi rebus kegemarannya di Jalan Parangtritis, sambil ngobrol-ngobrol. Kalau sedang di rumah, dia makan apa saja yang ada di meja makan. Sayur lodeh dan tahu-tempe, tak masalah.
Pas di rumah, dia biasanya berdiskusi bersama anak-anak. Bapak selalu minta persetujuan saya dan anak-anak, termasuk saat dia mencalonkan diri sebagai Ketua KPK. Menjelang pendaftaran calon Ketua KPK akan ditutup, setelah mendapat persejutuan kami, Bapak baru mendaftarkan diri. Awalnya, anak-anak merasa ngeri dan ketakutan karena dalam bayangan mereka, jika Bapak jadi Ketua KPK, akan banyak yang tidak suka karena harus memberantas korupsi di Indonesia.
Ahmad Tarmizi
KOMENTAR