Bagaimana tanggapan keluarga setelah suami diangkat sebagai Ketua KPK?
Menjadi Ketua KPK adalah amanah yang mulia. Kata dia, di negeri ini banyak kasus korupsi. Nah, kalau korupsi bisa diminimalisir, uang negara bisa digunakan untuk kepentingan lain seperti pendidikan dan menciptakan lapangan kerja. Jabatan ini akan jadi kontribusi amal saleh yang lebih bermakna bagi orang lain. Kalau anak-anak, sih, bilang, "Terserah Bapak, saja". Mereka amat mendukung ayahnya, termasuk saya. Anak-anak juga sekarang rasanya nyaman-nyaman saja.
Apa yang suami katakan ketika terpilih?
Bapak kirim SMS, minta didoakan. Isi SMS yang dikirim ke saya, sama seperti yang dikirim ke anak-anak kami. "Bapak minta dengan sangat doa kalian, agar Bapak dirahmati Allah dalam mengemban amanah ibadah ini. Tiap salat jangan lupa doakan Bapak. Terima kasih. Bapak buka puasa dulu."
Tidak takut diteror koruptor nantinya?
Merasa khawatir, iya. Itu manusiawi. Sebab, KPK, kan, lembaga yang sangat disorot publik. Ini memang tugas yang berat. Kami juga takut ada fitnah untuk Bapak. Malah, belum apa-apa, saya sudah membaca ada komentar pesimis di internet, seperti, "Ah, nanti seperti yang lainnya (Ketua dan anggota KPK sebelumnya, Red.), bakal masuk bui." Kami berdoa, mudah-mudahan tidak begitu.
Namun, hal itu tidak menjadikan kami ketakutan secara berlebihan. Jika kami selalu berusaha berbuat baik, tidak dendam, dan tidak melakukan yang tidak baik terhadap orang lain, insya Allah akan selalu dilindungi Tuhan.
Kami justru dipertemukan atau dicomblangi ha...ha...ha.... Tahun 1987, saat saya semester akhir di UIN (Universitas Islam Negeri), dulu IAIN, Yogyakarta, dia dosen muda di Fakultas Hukum UII Yogya (Unversitas Islam Indonesia). Nah, kebetulan dia punya kakak seorang dosen di UIN, sementara saya punya om yang jadi dosen di UII. Merekalah yang berembuk dan merancang perjodohan kami.
Kesan pertama saat bertemu?
Biasa-biasa saja, ya. Awalnya saya malah tidak tahu siapa Busyro. Sempat dikenalkan, sih, ketika saya masih jadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan ada kegiatan di UII. Saya mulai tertarik ketika dia berkomentar tentang konsep kepemimpinan di kantor majalah kampus UII. Saya lihat pemikiran dia bagus sekali dalam memahami konsep kepemimpinan. Idealisme dan visinya sama seperti saya. Setelah itu, kami jadi sering bertemu dan berdiskusi. Teman-teman sesama aktivis juga mendukung hubungan kami.
Jadi, setiap "apel" diskusi terus, dong?
Ha...ha...ha... bertemu saya saja sebetulnya susah, lho. Soalnya, sebagai aktivis, saya punya banyak kesibukan di luar rumah dan kampus. Biasanya, setelah beberapa kali dia datang ke rumah, baru bisa bertemu saya. Gaya pacaran kami memang berbeda dengan anak muda pada umumnya. Kami punya rambu-rambu dan prinsip tersendiri.
Langsung merasa cocok meski "dijodohkan"?
Kebetulan saya punya kriteria calon suami seorang aktivis. Dulu, saya pikir akan menikah dengan sesama aktivis HMI, eh, ternyata bukan. Dia, kan, dulu aktifnya di Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Tapi berdasarkan kecocokan visi dan idealisme kami, seusai saya menyelesaikan KKN (kuliah kerja nyata), setahun kemudian atau tepatnya 7 Agustus 1988, kami menikah. Usia saya 12 tahun lebih muda dari dia jadi saya disapa, "Adik". Latar belakang keluarganya, cocok dengan keluarga saya.
Ahmad Tarmizi / bersambung
KOMENTAR