Tutik adalah istri ketiga saya setelah dua pernikahan saya sebelumnya kandas. Saya bertemu Tutik saat sedang bekerja, tahun 2005. Waktu itu dia jadi penumpang bus yang saya kendarai. Dia dari Jakarta dan akan pulang ke rumahnya di Muntilan. Selama perjalanan itu, kami asyik berbincang.
Setelah pertemuan pertama itu, kami terus menjalin komunikasi. Tutik mengaku janda sehingga saya memintanya menjadi ibu buat anak tunggal saya, Ret, yang ketika itu masih kecil. Setahun setelah berkenalan, kami menikah dan awalnya perkawinan kami amat bahagia.
"Rajin" Selingkuh
Sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Saya mulai mendengar kasak-kusuk, Tutik kerap berhubungan dengan pria lain ketika saya tak ada di rumah. Maklum, sebagai sopir bus antarprovinsi, saya kerap pulang dua hari sekali. Bisik-bisik tak mengenakan itu tak hanya saya dengar dari para tetangga dan kakak saja, tapi juga dari Ret. Lantaran mengaku jengah melihat perselingkuhan ibu tirinya, Ret sampai tak mau tinggal lagi bersama saya. Ia memilih tinggal kembali bersama ibu kandungnya.
Ironisnya, Tutik tak sekali saja berselingkuh. Kalau tak salah hitung, ada sekitar empat pria yang tercatat sebagai teman selingkuhnya. Mengapa saya tahu? Soalnya, Tutik selalu mengaku setiap saya menanyakan soal itu padanya. Kata Tutik, selingkuhannya itu semuanya masih berusia muda dan kuat.
Jelas, sebetulnya berat sekali menerima kenyataan itu. Tapi apa mau dikata, saya telanjur mencintai Tutik dan ia pun selalu minta maaf. Itulah yang membuat saya luluh. Di samping itu, saya mengakui tak bisa memuaskan hasrat biologis Tutik yang usianya 17 tahun lebih muda dari saya. Maklum, setiap pulang kerja saya selalu capek dan perlu istirahat untuk mengembalikan stamina sehingga tak bisa melayani keinginan Tutik. Makanya pernikahan kami tak dikaruniai keturunan.
Sekitar empat tahun saya memendam masalah rumah tangga ini, tapi Tutik tak pernah mau bertobat. Malah, perselingkuhan Tutik dengan seorang pria muda yang juga berprofesi sebagai sopir angkutan kota, semakin menjadi. Seakan tanpa hati dan perasaan, ia melakukannya secara terang-terangan di depan mata saya.
Pria itu pun bahkan sudah berani datang ke rumah dan bercinta di ranjang kami. Ret cerita, ia pernah melihat mereka berangkulan. Sekali lagi saya minta penjelesan Tutik tentang perselingkuhan di kamar itu, dan tanpa malu ia mengakuinya. Tapi, lagi-lagi, saya kembali memaafkan ketika Tutik bersimpuh di kaki saya memohon ampun.
Nah, di hari kejadian itu, Minggu (21/11) sekitar jam 08.00, ketika baru bangun tidur saya mendapati SMS di ponsel dari pria muda selingkuhan Tutik. Pria itu mengajak Tutik berkencan. Kecemburuan saya pun bangkit. Saya menanyakan isi SMS itu dengan nada suara pelan. Tapi anehnya, kali ini Tutik tak mau meminta maaf.
Sebaliknya, istri saya itu justru mulai berani mengusir dan meminta saya membayar uang kontrakan sebelum angkat kaki. Dada saya terasa sesak dan sakit mendengarnya. Setega itu Tutik memperlakukan saya, suaminya sendiri. Padahal, selama ini saya banting tulang untuk membiayai hidupnya dan anak tiri saya yang tinggal bersama mantan suaminya.
KOMENTAR