Kedukaan yang sama juga sangat dirasakan Yosi Nurmalasari (18), anak sulung Kikim. Yosi yang tamatan SMA mengatakan, selama ini ibunya tak pernah mengeluh meski hidupnya sederhana. Kikim justru ingin berjuang agar anak-anaknya berpendidikan tinggi. "Mama ingin, saya bisa kuliah. Makanya dia kerja di luar negeri. Dia minta saya menjaga adik-adik," tutur sulung tiga bersaudara ini.
Yosi mengaku, hubungan dengan sang ibu begitu dekat. "Mama sering menasihati saya. Yang paling saya ingat, dia minta agar kita tak boleh iri dengan kesuksesan orang lain. Dan jangan terpengaruh omongan orang," papar Yosi.
Yosi pun terkenang nasihat sang ibu. "Sebagai anak sulung, saya harus bisa membimbing adik-adik. Makanya, Mama ingin saya bisa kuliah. Dengan penghasilan papa, jelas tak mungkin. Setelah modal terkumpul, Mama ingin pulang dan berkumpul lagi bersama keluarga."
Yosi mengaku tak pernah menelepon ibunya semasa di Arab. "Ketika masih di penampungan di Jakarta, justru Mama sering menelepon ke HP saya. Ada saja yang diceritakan, misalnya kegiatannya di penampungan. Mama minta saya berdoa, agar Mama betah kerja di Arab. Mama juga berharap, dapat majikan baik. Selama ini, kan, sering dengar ada TKW dianiaya. Mama berharap, jangan sampai nasib buruk menimpanya."
Di kala lain, "Mama menanyakan kabar adik-adik. Mama sering cemas kondisi Fikri yang sering sakit. Saya kabarkan pada Mama, Papa selalu rajin membawa Fikri ke Puskesmas. Mendengar kondisi Fikri makin baik, Mama jadi lega."
Yosi terakhir kali menerima telepon dari Kikim menjelang keberangkatannya ke Arab. "Mama telepon sebelum naik pesawat. Kembali Mama mengingatkan saya untuk bisa mandiri. Mampu menjaga adik. Mama juga minta didoakan agar perjalanannya lancar."
Setelah itu, Yosi tak lagi mendengar kabar ibunya. Ia hanya mendengar dari cerita Wiwin, bibinya. "Senang sekali saya dapat kabar baik tentang Mama. Tapi, ternyata akhirnya malah jadi seperti ini," kata Yosi sambil merangkul adiknya.
Kini, Yosi hanya berharap, jenazah ibunya segera tiba di kampung halaman. Bisa jadi, ia memang tak akan bisa melihat wajah ibunya untuk terakhir kali. Tapi, ia tak ingin jasad ibunya lebih lama terkatung-katung di Arab. "Sasay selalu mendoakan Mama dan sekarang, saya berdoa agar arwah Mama diterima di sisi Allah."
Yosi pun berjanji akan menuruti nasihat mamanya. "Ya, sekarang saya benar-benar tanpa Mama. Saya harus bisa mandiri seperti yang selalu Mama katakan. Saya ingin menjaga adik-adik sampai besar, semampu saya," kata Yosi.
Malam kian larut. Terdengar para pelayat membacakan ayat-ayat suci di rumah sederhana milik Kikim.
Mungkin inilah secercah kebahagiaan yang bisa dinikmati Sumi di antara deritanya: nasibnya jadi salah satu topik pembicaraan Presiden SBY di sebuah rapat kabinet. Bahkan sebuah tim khusus pun dibentuk. Tak banyak orang bernasib "seberuntung" itu jika melihat data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2 TKI) yang menyebutkan, hingga medio 2010, ada 1.274 TKI yang dianiaya majikannya, khususnya di Negara Arab Saudi. Itu cuma kasus penganiayaan, belum lagi kasus pemecatan sepihak, gaji tak dibayar, pemerkosaan, bahkan tewas akibat kekerasan dan eksploitasi. Kalau semua itu ditotal, jumlahnya mencapai lebih dari 22 ribu kasus. Angka yang mencengangkan itu ditengarai akan terus meningkat seiring berjalannya waktu, apalagi jika tak ada tindakan serius dari Pemerintah.
Entah apakah karena SBY telah angkat bicara, yang jelas Sumi segera dapat perhatian khusus. Memang itulah yang seharusnya diterima para TKI yang mengadu nasib di negeri orang. Dalam jumpa persnya beberapa waktu lalu, Menlu Marty Natalegawa berujar, kasus Sumi kini sudah diproses pihak kepolisian. "Masalah pelaporan ke pihak kepolisian dan dari segi diplomasi ke Pemerintah Arab Saudia, sudah kami laporkan." Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Madinah pun, tuturnya, terus mengupayakan dan bekerja keras menyelesaikan masalah yang menimpa Sumi. Bahkan, Konsulat Jenderal RI (KJRI) sudah menyediakan dokter untuk mendampingi Sumiati.
Marty juga menegaskan, fokus Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) adalah memperoleh medical record kondisi Sumi yang nantinya akan digunakan untuk proses hukum berikutnya. Kemenlu juga sudah memfasilitasi keberangkatan keluarga Sumi dari NTB ke Arab Saudi. Di sisi lain, "Duta Besar Arab Saudi, Abdurrahman Mohammad Amen Al-Khayyath, sudah dipanggil ke Kemenlu. Kami menyampaikan sikap kita dan mengecam apa yang telah terjadi," ungkapnya. Saat itu, lanjut Marty, secara resmi Pemerintah mengutuk keras penganiayaan yang menimpa Sumi dan mendesak pihak Arab Saudi agar majikan Sumiati diproses secara hukum.
Terkait hak-hak korban, perusahaan yang mengirim Sumi ke Madinah, PT Rajana Falam Putri, sudah ditegur dan disepakati Sumi akan menerima uang pertanggungan sebesar Rp 140 juta. Memang, jumlah uang seberapa pun, tak akan bisa menggantikan derita lahir-bathin Sumi. Namun Sumi bisa dibilang "lebih beruntung" dibanding Kikim yang ditemukan sudah tak bernyawa dan dibuang di tempat sampah. Tiga anaknya tak berhenti menangisi kepergian sang bunda. Begitu tragisnya nasib perempuan ini, Presiden SBY menyebutnya sebagai, "Tindakan yang di luar perikemanusiaan." Majikan Kikim pun telah dibekuk polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sumi dan Kokom seolah jadi tonggak sejarah baru untuk TKI yang bernasib tak mujur karena mendapat perhatian serta simpati yang begitu besar dari Pemerintah. Berbagai cara perlindungan dirancang bagi para pahlawan devisa ini. Sejatinya, memang begitulah seharusnya negara melindungi dan menghargai rakyatnya...
Henry Ismono, Intan, Edwin
KOMENTAR