Tak terasa tiga bulan berlalu dan tak ada kabar apa pun tentang Sumi. Tiada hari yang kulewatkan tanpa menangis. Firasat buruk terus menghantui. Dalam mimpiku, Sumi muncul dengan roman memelas. Bahkan, aku pernah bermimpi ia dipukuli dan digunduli. Aku rasa, semua itu bukan sekadar mimpi tapi merupakan pertanda bila anakku benar-benar tengah mengalami cobaan berat. Hubungan batin antar ibu dan anak, kan, sangat kuat meski dipisahkan jarak, ruang, dan waktu. Aku terus berdoa untuk keselamatan putri tunggalku itu.
Kebesaran Tuhan akhirnya datang. Kamis (11/11), tiba-tiba aku mendapat telepon dari Sukrin, teman Sumiati yang ada di Kota Dompu. Katanya, ia baru saja ditelepon Sumi via ponsel milik seseorang bernama Yanti, TKW asal Sulawesi. Sumi menelepon dari RS di Madinah. "Dia baru sadar setelah koma karena dianiaya majikannya," kisah Sukrin.
Bak disambar geledek mendengar cerita Sukrin. Aku bahkan sempat pingsan. Tak lama berselang, dengan dibantu Yanti, Sumi menelepon ke rumah tetanggaku. Saat itu ia tak banyak bercerita. Suaranya terbata-bata dan terdengar sangat lemah. Yanti lah yang lebih banyak mengabarkan kondisi Sumiati. Yanti juga mengisahkan, selama empat bulan bekerja di majikannya, hanya seminggu pertama saja Sumi diperlakukan baik. Minggu berikutnya, tak pernah lepas dari siksaan si majikan maupun anaknya.
Berbagai macam perlakuan kasar diterima anakku tanpa sebab yang jelas. Mulai dari menyundutkan besi panas ke punggungnya, memukul kepalanya hingga rambutnya rontok, menginjak kakinya hingga lumpuh, hingga memukul wajah dengan besi hingga batang hidungnya patah. Tapi yang paling mengerikan, bagian pinggir bibir atas anakku digunting! Masya Allah, kenapa anakku harus mengalami itu? Siksaan keji itu dilakukan si majikan saat Sumi dalam keadaan tangan terikat, terkadang disekap dalam kamar mandi. Begitu berat siksaan yang dialaminya, sampai-sampai anakku tak menyangka bisa bertahan hidup sampai saat ini.
Tubuhnya yang dulu berisi, kini nyaris tinggal kulit dan tulang sebab jarang diberi makan. Akibat beratnya siksaan yang dialaminya, ia akhirnya tak sadarkan diri. Bahkan sempat koma. Oleh anak si majikan, Sumi dibawa ke RS lalu ditinggal begitu saja. Usai ditangani dokter dan siuman, bertemulah Yanti yang saat itu tengah menunggui majikannya yang kebetulan kamarnya sama dengan Sumi. Yanti yang tersentuh dan iba, lalu menghubungi Sukrin.
Jangan ditanya bagaimana perasaanku mendengar seluruh cerita Yanti. Rasa sakitnya sampai menusuk ke ulu hati. Tak hanya aku, seluruh warga kampung pun bertangisan, ikut memikirkan nasib anakku. Maklum, Sumi sangat dekat dengan para tetangga. Ia anak yang pandai bergaul serta periang.
Tanpa buang waktu, kami melaporkan kejadian ini ke kepala desa, polisi, juga ke Departemen Tenaga Kerja. Melalui pemberitaan, akhirnya Presiden SBY pun tahu soal anakku. Aku berterimakasih pada presiden, juga Yanti yang kuanggap sebagai malaikat penolong anakku. Tak bisa kubayangkan bagaimana jadinya jika Yanti tak membantu anakku.
Kini aku sudah mulai sedikit lega karena kondisi Sumi semakin hari semakin membaik. Bahkan, Pemerintah pun khusus mengirimkan dokter Indonesia ke RS di Madinah untuk membantu merawat anakku. Sang dokter selalu menghubungi kami untuk menyampaikan perkembangan anakku dari waktu ke waktu. Termasuk saat menyiapkan semangkuk bakso dan mangga permintaan Sumi. Kini, hampir setiap hari Sumiati bisa menghubungi kami, tanpa kendala. Nada bicaranya pun sudah tak terbata-bata lagi.
Kami sekeluarga sebenarnya sudah tak kuat menahan rindu untuk segera bertemu Sumi. Jika nanti bertemu, aku ingin memeluknya erat. Tapi, aku berharap anakku sembuh total sebelum pulang ke kampung halamannya. Jujur, aku tak bisa membayangkan seperti apa wajah anakku sekarang. Bila kulihat wajahnya di teve atau koran, ingin rasanya aku menyangkalnya karena itu bukan wajah anakku.
Aku berharap, si majikan keji itu diberi hukuman seberat-beratnya. Perbuatan yang dilakukannya pada anakku tak hanya melukai raganya, tapi terlebih lagi hatinya. Aku, sebagai ibunya, selalu memperlakukannya dengan penuh kasih sayang dan tak pernah bersikap kasar. Aku tak habis pikir, kok, ada orang yang tega menyakiti anakku sebegitu rupa?
Aku pun berjanji, kelak bila Sumii sudah kembali ke rumah, akan kurawat ia dengan baik. Jika ia ingin bekerja lagi, biarlah di sekitar Dompu saja. Namun, aku pun berharap, Sumii masih bisa mewujdukan cita-cita besarnya untuk menjadi seorang bidan. Entah bagaimana caranya.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR