Sungguh aku tak pernah menyangka, nasib anakku, Sumiati, akan jadi sengsara begini. Andai dulu aku tahu bakal begini akhirnya, tentu tak akan pernah kurelakan ia jadi tenaga kerja wanita (TKW), cita-cita yang sudah ia pendam sejak lama. Selulus dari SMA Negeri I Dompu tahun 2009, ia sempat menganggur setahun, kemudian pertengahan tahun 2010 tiba-tiba minta izin jadi TKW.
Jujur saja, awalnya aku keberatan meski pekerjaan jadi TKW bukan barang baru di kampungku. Banyak sekali orang di daerah kami yang mengadu nasib ke luar negeri. Selain bakal pergi jauh, Sumi adalah satu-satunya anak perempuan dari empat anak kami. Berat rasanya melepas dia kendati akhirnya aku dan suami, Salam Mustafa (45), tak kuasa menahan keinginannya yang begitu menggebu. Terlebih, Sumi punya tujuan mulia dengan menjadi TKW. Katanya, hasil jerih payahnya sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri akan dijadikan modal kuliah di Akademi Kebidanan. "Biar aku bisa merawat Ina (ibu, Red.) sekaligus membantu orang kampung sini melahirkan," katanya. Sumi memang anak yang berbakti.
Putriku tahu persis, tak mungkin berharap melanjutkan kuliah karena ayahnya cuma seorang nelayan kecil. Belakangan ini saja, misalnya, selain hasil tangkapan ikan laut sangat sedikit, suamiku juga makin sering sakit-sakitan. Begitun aku, sering sakit-sakitan.
Singkat cerita, berangkatlah putri kami pada 24 Juni 2010 ke Jakarta untuk tinggal di penampungan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT Rajana Falam Putri, yang akan memberangkatkannya ke luar negeri. Selama di sana, hampir setiap hari ia meneleponku melalui rumah tetangga untuk mengabari kondisinya. Bahkan sebelum berangkat ke Arab Saudi (18 Juli 2010), ia masih menelepon dari bandara. "Doakan aku dapat majikan baik dan rezeki yang banyak, ya, Ina," ujarnya.
Nah, sejak itulah hubungan kami nyaris putus total. Awalnya, aku dan suamiku maklum dan mampu menahan rindu. "Ah, mungkin saja ia mulai sibuk bekerja." Namun setelah 1-2 minggu, bahkan lebih dari sebulan tak ada kabar sama sekali, aku mulai cemas. Berbagai bayangan buruk tentang kondisi anakku mulai bermunculan. Akhirnya, aku minta bantuan tetangga yang pernah jadi TKW di Arab Saudi untuk menelepon majikan Sumi yang diketahui bernama Halid Salah M. Al Khamimi. Katanya, dia janda beranak satu yang tinggal di Madinah.
Aku semakin cemas saat si penerima telepon dengan nada ketus berujar, tak punya pembantu bernama Sumiati lalu segera menutup teleponnya. Pikiranku berkecamuk tak menentu. Sementara aku yakin benar, Sumi tinggal di sana. Hati kecilku berkata demikian. Namun, bagaimana aku membuktikannya?
Hal seperti itulah yang tak ingin kualami saat Sumi jadi TKW. Siang dan malam aku terus menangis, memikirkan nasib anakku yang entah bagaimana. Tapi aku tak putus asa. Dibantu tetanggaku, aku terus berusaha menghubungi majikan anakku. Sayang, lagi-lagi aku menemui jalan buntu. Sebab kini, si majikan sama sekali tak pernah mengangkat teleponku.
Tak kehabisan akal, aku lalu menghubungi salah seorang kenalan yang juga jadi TKW di Arab Saudi untuk menghubungi majikan Sumi dari tempat kerjanya. Usaha ini berhasil. Telepon dari sang kenalan diangkat majikan Sumi. Bahkan kami bisa berkomunkasi bertiga, melalui sarana telekonferensi.
Dalam percakapan itu, si majikan kembali berkelit dan menyatakan tak punya pembantu rumah tangga bernama Sumiati, melainkan bernama Ati. Aku semakin yakin, yang dimaksud Ati itu pasti anakku. Sayang, si majikan segera menutup gagang telpon ketika diminta memperdengarkan suara pembantunya yang bernama Ati itu. Harapanku, mungkin aku bisa tahu apakah itu benar anakku atau bukan, bila mendengar suaranya. Pupus sudah harapanku.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR