Saat-saat seperti sekarang ini, Vina dan 12 pekerjanya mulai kewalahan mengerjakan pesanan. "Yang paling ramai, menjelang Idul Fitri, Natal, dan Imlek," tambah pasangan muda ini. Terpaksa, beberapa pekerjanya harus lembur. Padahal, tak mudah mencari pekerja yang pandai dan telaten menyulam atau menjahit aplikasi dengan tangan. "Makanya pekerja saya semua perempuan. Biasanya, sih, perempuan lebih telaten," jelas Vina sambil melirik sang suami. Semua karyawannya tinggal di asrama. "Enggak ada pekerjaan yang dibawa ke rumah."
Ada banyak pertimbangan kenapa Vina lebih memilih menyediakan asrama daripada membiarkan karyawannya mengerjakan di rumah. "Membuat produk seperti ini kontrolnya harus ketat." Tak boleh ada satu benang pun yang "keluar" dari jahitan. Dari sisi kebersihan juga lebih terjaga jika semua dikerjakan di asrama yang dijadikan workshop-nya.
Kata Vina, tak semua orang bisa melakukan pekerjaan ini. "Saya sendiri yang mengajari." Mereka dibimbing setahap demi setahap. Semula diajari menggaris aplikasi, setelah itu belajar memotong, menyulam, serta memasang kancing. "Kalau menjahit memang harus punya bakat. Kalau memang tak ada bakat, tetap susah diajarinya."
Para pekerja itu, lanjutnya, juga tak bisa diburu-buru. Itu sebabnya, meski kini ia banyak mendapat tawaran ekspor, Vina dan Stephen belum bisa menyanggupi. "Untuk memenuhi kebutuhan lokal saja, sering kewalahan," kata Stephen. Kenapa tidak menambah tenaga? "Untuk mengajari mereka juga makan waktu lama," kata Vina.
Begitu rumit dan panjangnya proses dalam pembuatan seprai, bed cover, dan lainnya ini, mau tak mau harganya menjadi mahal. Apalagi semua dikerjakan dengan tangan. Untuk seprai polos tanpa aplikasi, misalnya, dihargai mulai Rp 350 ribu. Sementara untuk satu paket seprai, selimut, sarung bantal dan guling dengan aplikasi, dibandrol mulai Rp 875 ribu. Harga itu sudah termasuk request aplikasi dan nama.
Barang-barang tadi, lanjut Vina, dibuat dari bahan impor. "Ada juga yang lokal tapi kami jamin 100 persen katun sehingga nyaman dipakai," kata Stephen yang enggan menyebut omsetnya.
Hasil sulaman juga dijamin rapi. Stephen mencontohkan, untuk membuat sulaman bunga, semua bagian disulam, sampai ke putik bunga sekalipun. "Jadi barang-barang kami benar-benar hand made sehingga kami tak bisa memproduksi banyak," jelas Stephen yang sebulan baru bisa menghasilkan sekitar 12-18 item. Itu sudah termasuk barang yang kecil-kecil, seperti tutup kotak tisu, dompet, dan lainnya.
Itu sebabnya, setelah membuka gerai di Jakarta, pasangan ini belum berencana ekspansi lagi. Vina justru akan konsentrasi membuat kreasinya lebih beragam, tak sekadar seprai, selimut, dan sarung bantal.
Seperti saat ini, Vina juga sudah merambah ke furnitur, meski masih seputar kebutuhan kamar anak seperti boks bayi dan sofa kecil. Ia juga mencoba membuat bumper boks bayi yang banyak diminati pembeli. Bahkan ia juga sudah menerima 1-2 pesanan gorden.
Pesanan yang beragam ini memang diharapkan Vina karena ia punya cita-cita, Linen & Lace tak sekadar membuat seprai dan selimut, tapi menjadi perusahaan yang bisa memenuhi kebutuhan home living.
Sukrisna
KOMENTAR