Ketika musim bank merger, sekian banyak orang kena PHK. Salah satunya adalah Natalindah Budirahayu. Pusing, sudah pasti, karena penghasilan keluarga jadi berkurang. Beruntung Linda tak kurang akal. Dengan modal Rp 15 juta, pecinta seprai ini nekat berbisnis seprai. "Padahal, saya enggak punya ilmu berbisnis," kata Linda yang hobi jalan-jalan.
Dari hobinya itu, timbul idenya membuka toko Factory Outlet yang saat itu sedang menjamur. "Supaya beda, saya enggak mau menjual pakaian atau sepatu. Kebetulan saya suka sekali membeli seprai, untuk dipakai sendiri atau dijual kembali ke teman-teman kantor. Jadi, toko saya khusus menjual seprai."
Pada awalnya, toko yang berlokasi dekat rumahnya di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, diisi seprai hasil kulakan Linda di Tanah Abang. Baru kemudian, dibantu dua penjahit, Linda mulai menjahit sendiri seprai jualannya. "Soalnya saya suka kecewa dengan kualitas seprai yang saya beli."
Meski saat itu Linda penuh semangat membuka usahanya, suaminya tidak mendukung. "Dia malah sempat marah. Katanya, orang beli seprai paling setahun sekali. Tapi saya saya nekat saja, maju terus," ujarnya seraya tertawa.
Agar mudah diingat, Linda menamakan usahanya Bale Bale. "Saya ambil dari bahasa Betawi, artinya tempat tidur. Tadinya mau saya namakan Istana Seprai, tapi kesannya, kok, mewah banget. Akhirnya enggak jadi pakai nama itu."
Yang jelas, produk Linda langsung mendapat tanggapan positif pelanggannya. Pasalnya, selain corak atau motif yang tidak biasa, "Saya mendesain seprai dengan karet di seluruh pinggirannya. Jadi, waktu dipasang, seprai akan selalu rapi."
Untuk menggaget pelanggan, Linda menempel tulisan "Harga Grosir" di depan tokonya. Padahal, "Saya enggak tahu, seperti apa sebetulnya sistem grosir. Maksud saya, sih, sekadar ingin menarik orang datang. Jadi, ketika ditanya orang yang datang ke toko, saya bingung menjawabnya," kenangnya.
Hikmahnya, Linda justru jadi mendapat tambahan ilmu. "Setiap ditanya soal harga grosir, saya jawab saja, minimal beli tiga, dapat harga grosir. Khusus untuk reseller, produk yang sudah dibawa dan enggak laku, bisa dikembalikan dengan uang. Tetapi bila lebih dari satu bulan, saya hanya bisa menukar produk itu dengan produk yang baru," paparnya.
Rupanya aturan itu justru menguntungkan reseller. Semakin lama, banyak orang yang ingin menjadi reseller Bale Bale. "Dalam waktu setahun, saya sudah bisa menambah jumlah produk. Tahun kedua, toko saya benar-benar jadi toko grosir. Dari dua orang penjahit, kini saya memiliki sekitar 40 penjahit."
Dengan tenaga kerja yang lebih banyak dan makin majunya usaha, Linda mau tak mau harus terus melakukan inovasi. Jenis produk yang ditawarkannya pun semakin beragam. Mulai dari bed cover, Bamut (bantal selumut), Gulmut (guling selimut), seprai empuk, dan sebagainya. "Semuanya hasil desain sendiri berdasarkan pengalaman pribadi. Kami membuat produk inovatif yang tidak ada di pasaran tapi sangat berguna." Linda kemudian memberi contoh, "Saya suka bepergian dan membawa bed cover. akhirnya saya minta adik mendesain bed cover yang bisa dilipat dan mudah dibawa. Jadilah Bamut."
Usaha Linda bukan tanpa kendala. Salah satunya, ditiru alias dijiplak. "Begitu produk dikeluarkan, langsung banyak yang menjiplak. Akhirnya, sekarang setiap bikin produk, saya patenkan supaya orang enggak bisa sembarangan menjiplak. Beruntung orang tahu dan bisa membedakan kualitas barang sehingga produk buatan saya tetap diminati."
Keberuntungan lainnya, produk Bale-Bale sering diliput media massa. "Jadi, tidak perlu beriklan, produk saya cepat sekali dikenal masyarakat. Ini berkah tersembunyi yang luar biasa. Saya jadi semakin terpacu untuk menciptakan produk baru," tuturnya.
Mitra Harus Untung
Di sisi lain, Linda juga bersyukur karena para reseller merasa nyaman bekerjasama dengan Bale-Bale. Bahkan banyak di antara mereka yang kini usahanya berkembang menjadi agen besar dengan membuka toko Bale Bale di wilayahnya. "Tahun 2007, saya membuka kerjasama ini. Bukan waralaba tapi kemitraan."
Sistem itu, jelas Linda, izin untuk menggunakan merek Bale-Bale selama lima tahun dengan membayar Rp 25 juta. Tahap awal, mitra membeli produk Bale Bale sebesar 25 juta. "Total keseluruhan untuk biaya mitra kerja ini adalah Rp 50 juta." Kendati begitu, Linda mengaku tak ingin sekadar meraup keuntungan besar. "Saya tetap menjaga komitmen, setiap mitra yang bekerjasama dengan saya harus mempunyai keuntungan, meskipun keuntungan saya tipis. Setiap wilayah hanya ada satu Bale-Bale. Sekarang sudah ada 10 toko, dua di antaranya di Riau dan Malang."
Dengan pertimbangan khusus pula, Linda tak punya niat membuka toko di mal atau plaza. "Justru dengan seperti ini pelanggan merasa lebih nyaman dan tak segan berkonsultasi," tambah Linda yang kini sedang merintis usaha kuliner.
Edwin Yusman
KOMENTAR