Pria yang akrab disapa Kiman itu dipercaya banyak orang untuk mengurusi penyaluran bantuan. Ia lalu menggagas JALIN Merapi (Jaringan Informasi Lintas Merapi) yang menjembatani komunikasi antara pengungsi, relawan, kepala dusun, penanggung jawab posko, hingga donatur. Semua itu dilakukannya dengan memanfaatkan handy-talky, radio, internet, dan telepon seluler.
Kini, tercatat 497 relawan dari berbagai penjuru Nusantara melibatkan diri dalam JALIN Merapi. Mereka terbagi di posko-posko pengungsian dan posko utama. Tiap perwakilan posko secara berkala melaporkan kondisi terakhir poskonya, sehingga kekurangan logistik dan tenaga bisa segera ditangani.
Perkembangan kondisi posko ini bisa diakses melalui situs www.merapi.combine.or.id dan akun Twitter @jalinmerapi. Laporan itu juga jadi panduan donatur yang ingin menyalurkan bantuannya.
Cara ini efektif mengatasi distribusi bantuan ke posko yang memang memerlukannya.
Sebenarnya, JALIN Merapi tak muncul secara mendadak. Ini hanyalah pengembangan dari Radio Komunitas Lintas Merapi yang dirintis Kiman sejak 1999 di Desa Sidorejo, Klaten. Radio yang bisa didengar di Desa Sidorejo, Desa Tegalmulyo, dan Desa Balerante itu tak jauh berbeda dengan radio pada umumnya. Yang membedakan, isi siarannya sarat info seputar Merapi dan tanggap bencana.
Kesadaran untuk mendidik warga, dilatari rasa sakit hati. "Saat gempa tahun 1994, saya melihat betapa penduduk tak siap menghadapi bencana. Belum lagi banyak pihak berusaha mengambil keuntungan dari korban bencana dengan mengkorupsi dana bantuan." Ia pun memutar otak dan mencari cara untuk bisa memberdayakan warga yang tinggal di lereng Merapi.
Menyadari banyak yang memiliki radio, akhirnya Kirman memilih media itu. "Untuk biaya kebutuhan operasional, kami menjual jasa sebagai pemandu tracking Merapi, bertani, atau ternak kambing," kisahnya.
Saat ini, Radio Lintas Merapi memiliki 24 awak siaran yang bekerja secara sukarela. Cara ini terbukti efektif. Melalui siaran hiburan ketoprak, misalnya, Kiman menyelingi obrolan dengan info Merapi. "Waktu dagelan, tiba-tiba ada dialog, 'Ojo lali iki wis 2010, awake dhewe kudu siaga, Merapi, kan, puterane 4 taun, iki wis meh erupsi.' (Jangan lupa, ini sudah 2010, kita harus siaga, karena siklus 4 tahunan Merapi. Sebentar lagi akan erupsi).'"
Setelah itu, radio akan memberi informasi seputar ancaman erupsi. Misalnya, soal awan panas, seberapa bahayanya awan panas itu, sampai cara menghindarinya. Tanpa sadar, dengan mendengarkan radio, warga menjadi paham.
Jadi, jika warga di desa itu enggan dievakuasi, itu karena mereka tahu, memang belum saatnya mengungsi. Sebab, lanjut Kiman, terlalu cepat mengungsi, meninggalkan ternak dan kebun, dampaknya membuat perekonomian warga merosot. "Perlu bertahun-tahun untuk bisa pulih kembali," begitu Kiman memberi alasan.
Kiman juga mengeluhkan ketidaksiapan Pemerintah dalam mengungsikan warga dari zona bahaya. "Mereka menyuruh warga mengungsi tapi truknya belum ada. Mereka juga tidak memikirkan, saat mengungsikan warga, apakah PMI-nya sudah ada, MCK sudah disiapkan. Kalau tidak siap, malah timbul penyakit, dan jadi bencana tambahan lagi, kan," ujarnya berapi-api.
Baik Lintas Merapi maupun JALIN Merapi, kata Kiman, tak hanya bisa diterapkan di Merapi. "Saya ingin di setiap wilayah rawan bencana ada sistem semacam ini. Jadi, kalau bencana datang, bisa meminimalisir korban," harapnya.
Sita Dewi / bersambung
KOMENTAR