Tim Al Azhar yang dikomandoi Rahmat Siddik berangkat dari Jakarta (28/10). Tiba di Padang, ia bergabung dengan 4 relawan setempat. Hari itu juga meluncur menuju Mentawai dengan menumpang kapal motor Barau menuju Pulau Sikakap selama 16 jam. Pulau ini, kata Rahmat sunyi, bagai pulau mati tanpa penghuni. Di sinilah Tim terpaku, terpana di antara pemukiman yang hilang.
Satu per satu kemudian warga Sikakap yang selamat dari amukan tsunami baru ditemui. Mereka terlihat dengan tatapan wajah kosong tanpa harapan. Dari Sikakap, Sabtu (30/10) pagi, Tim berangkat ke Pasapuat dengan membawa genset, perlengkapan listrik, permainan anak, dan sembako. Namun baru 30 menit berjalan, cuaca dan angin tidak bersahabat. Tiba-tiba, cerita Rahmat, ombak membumbung tinggi dan bergelombang sehingga nelayan mempertanyakan keberanian relawan tuk mengambil resiko terburuk. Akhirnya Tim sepakat kembali ke Sikakap menghindari resiko yang akan muncul di perairan. Perahu pun telah penuh dngan air yang masuk.
Pantang Menyerah
Tak ada kata menyerah, tengah hari, sekitar pukul 12 Tim mencoba lagi menuju Pasapuat melalui jalur darat dengan 2 motor. Kali ini mereka melalui jalur hutan, berbukit, masuk- keluar kampung dan menyusuri pantai. "Banyak anjing dan babi liar yang kami lihat berkeliaran di pinggir jalan," tutur Rahmat. Ketika menyusuri pantai di Abubakat, air mulai pasang dan kendaraan mulai sulit menyusuri pantai. Tim melewati pantai dan hulu sungai dibawah gerimis hujan. Mau tak tamu, Tim harus menghentikan perjalanan, karena air laut psang dan ada sungai tanpa jembatan yang tidak dapat dilalui motor. "Kami pun harus pulang kembali dengan segera agar air laut yang psang tidak menghambat perjalanan pulang," lanjut Ramhat.
Setelah berembug, Tim memutuskan akan berangkat kembali ke Pasapuat melalui jalur darat keesokan harinya. Harapan Rahmat, "Laut sudah surut sehingga memudahkan kami menuju lokasi. Kami harus akui, dari berbagai bencana di mana kami pernah terlibat, Mentawai area bencana yang memerlukan ketajaman pikiran, kematangan strategi, dan ketahanan fisik bagi relawannya. Jika salah hitung, kita akan dalam posisi amat sulit."
"Kami sekadar menginisiasi. Setelah ada kesepakatan warga, tanah mana yang akan didirikan tempat tinggal, kami mengajak mereka melakukan swadaya membuat rumah tainggal sebanyak 15 buah. Dananya kami ambilkan dari dana masyarakat yang terhimpun melalui Al Azhar Peduli Umat. Per rumah beayanya Rp 15 juta," terang Penanggungjawab Program Kemanusiaan Al Azhar Peduli Umat, Sunaryo Adhiatmoko yang dihubungi NOVA per telepon di Jakarta.
Konstruksi rumah itu terbuat dari 50 cm batu bata, dan selebihnya seng. "Yang membuat beayanya mahal karena beaya transportasinya dan aksesnya sulit. Target kami sebulan 15 rumah selesai," tambah Sunaryo yang menyebut program itu sebagai Rumah Bangkit Mentawai.
Memperoleh Perahu Gratis
Kabar gembira lainnya, Tim Al Azhar yang membuka posko di Sikakap, awal November lalu. bekerjasama dengan Air Putih, relawan lain yang menyediakan sarana komunikasi satelit dan internet. Dengan sarana komunikasi itu, para relawan bisa berinternet dan berkomunikasi dengan mudah. Di pelabuhan Sikakap inilah banyak bantuan menumpuk dan sulit didistribusikan akibat cuaca yang tidak bersahabat.
Asal tahu saja, untuk menyewa perahu guna mengangkut bantuan dari Sikakap ke daerah bencana harus menyewa per hari Rp1juta. Bahkan para NGO yang membawa bantuan logistik ada yang menyewa per bulan Rp 10 juta.
Salah satu warga Sikakap pemilik perahu adalah Edy. Melihat kesungguhan Rahmat dan rekan-rekannya membantu warga Sikakap, Edy memutuskan mewakafkan perahunya kepada relawan dari Al Azhar Peduli Umat ini. "Perahu boleh digunakan hingga program selesai, gratis. Tetapi bahan bakarnya membeli sendiri," tutur Edy, seperti dikutip Rahmat. Bukan tanpa sebab Edy mewakafkan perahunya. Semula, perahu miliknya sudah pecah lantaran berulangkali mengangkut bantuan para relawan lain. Ketika perahu pecah, Rahmat dkk mengulurkan bantuan untuk
memperbaiki dan membiayai perbaikan perahu. Dan, Edy pun tak melupakan jasa baik itu. Ketulusan pada akhirnya dibayar dengan keikhlasan.
Rini Sulistyati
KOMENTAR