Kehilangan bayi, apalagi kembar, sekaligus harus mengeluarkan banyak uang, membuat Fajriyah Rahmaniah (20) merasa nelangsa. "Saya harus bayar biaya rumah sakit Rp 9 juta. Besar sekali buat keluarga kami yang pas-pasan. Itu pun dari hasil hutang sana-sini," ungkapnya sambil tertunduk sedih.
Padahal, sebelum peristiwa itu terjadi, Fajri sangat bahagia. Ibu muda ini gembira sekali ketika mulai berbadan dua. Begitu pula sang suami, Rangga. Fajri yang hamil muda memang tak pernah memeriksakan kandungannya ke dokter kandungan.
"Selain tidak punya uang, saya rasanya sehat-sehat saja. Suami saya waktu itu juga belum punya pekerjaan tetap. Jadi, biar irit biaya, saya cuma periksa ke dukun bayi di desa saja," katanya ketika ditemui di rumahnya, Desa Paraman, Situbondo.
Masuk bulan ke tujuh, perempuan berkulit hitam manis ini merasa ada sesuatu yang tak beres. Ia bercerita, tanggal 29 September lalu, ia merasa perutnya sakit. "Rasanya melilit-lilit seperti mau melahirkan."
Tanpa Nyawa
Tak tahan didera rasa sakit, hari itu juga Fajri mendatangi dokter kandungan dan kebidanan senior, dr. SR, SpOG, yang berpraktik di RS Elizabeth, Situbondo. "Usai diperiksa, dokternya bilang, saya harus segera operasi Caesar. Katanya, ketuban saya sudah pecah," kisahnya.
Fajri sangat terkejut. Ia tak menduga harus dioperasi Caesar, hari itu juga. "Saya kira sakitnya cukup diobati saja. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Soalnya, kata dokter, kalau tidak segera dioperasi bisa membahayakn jiwa saya," tutur Fajri.
Alhasil, malam itu juga seluruh keluarga besarnya sibuk mencari pinjaman dan bantuan uang karena harus menyerahkan jaminan ke RS sebesar Rp 3,5 juta.
Setelah urusan adiminstrasi selesai, malam itu juga operasi dilakukan. Selain Rangga, semua keluarga besar Fajri turut menunggu di RS. Setelah sekitar 1,5 jam dioperasi, akhirnya bayi di dalam rahim Fajri berhasil dikeluarkan.
Tapi apa mau dikata, bayi berkelamin laki-laki dengan berat 400 gram itu tak berumur panjang. Hanya selang satu jam, bayi itu meninggal dunia. "Begitu tahu bayinya meninggal, kami semua menangis sebab sejak awal sudah membayangkan punya keponakan baru," kata Arif, kakak Fajri.
Usai janin dikeluarkan, dokter segera menutup kembali luka operasi. Untuk menjaga agar kondisi kejiwaan Fajri tak makin terguncang, baru keesokan harinya ia diberitahu jika bayinya sudah meningal. "Saya, ya, nangis. Namanya ibu yang ditinggal mati anaknya, pastilah sedih sekali," kata Fajri. Apalagi, saat itu ia tengah ditinggal sang suami yang mengikuti pendidilkan di Sekolah Akademi Pelayaran di Jakarta.
Selepas operasi, ibu muda ini masih harus menginap di RS demi mengembalikan kondisinya yang masih lemah. "Anehnya, perut saya melilit-lilit lagi. Rasanya persis seperti sebelum dioperasi." Beberapa kali, aku Fajri, ia menanyakan kepada perawat, kenapa perutnya terasa melilit. "Kata susternya, sakit itu biasa untuk perempuan yang habis dioperasi Caesar. Tapi ini sakitnya luar biasa. Karena jawabannya enggak memuaskan seperti itu, ya, sudah saya tahan saja."
Celakanya, rasa sakit yang dideritanya tak kunjung hilang, malah semakin menjadi-jadi. "Tapi jawaban perawatnya sama saja. Saya sampai kesal," katanya. Hari ketiga pascaoperasi, Fajri merasa tak tahan lagi. Ditambah lagi, ia merasa ada cairan tak biasa yang keluar dari vaginanya.
Penasaran, ia bergegas menuju kamar mandi. Terkejutlah Fajri ketika ia melihat ada kepala bayi keluar dari vaginanya. Bersamaan dengan itu, keluar pula cairan dengan bau sangat busuk. Dengan perasaan tak menentu ia melapor ke perawat.
Dokter pun segera menangani Fajri. "Saat bayinya ditarik keluar oleh dokter, bayi itu sudah meninggal dan membusuk," cerita Fajri dengan nada getir.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR