Adalah Anik Indrawati (39) warga Jl. Simo Pomahan Baru, Surabaya. Sejak usia enam bulan, ia mendadak buta. Gara-garanya, kata Anik, "Bidan yang merawat saat dirinya sakit demam di rumah sakit, terlambat memberikan bantuan oksigen. Karena itu saya pun buta. Itulah cerita yang saya peroleh dari Ibu."
Anik kecil pun terpaksa mengenyam pendidikan bangku TK hingga SMP di sekolah khusus yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB), Kedungsari, Surabaya.
Di sekolah khusus itu, Anik diajari berbagai macam mata pelajaran umum, termasuk membaca dan menulis huruf braille. "Enaknya sekolah di YPAB, tanpa dipungut biaya. Termasuk makanan sampai seragam sekolah semua diberi cuma-cuma oleh sekolah," jelas Anilk yang diantar-jemput ke sekolah oleh ibunya dengan sepeda onthel. Maklum, Suwarti berstatus janda ditinggal mati suami. Kondisi ekonominya jadi pas-pasan.
Dengan keterbatasannya Anik berjuang keras menuntut ilmu agarkelak tidak merepotkan orang lain. Misalnya, meminjam catatan teman sekelas untuk disalin di rumah. "Mencatatnya dibantu Ibu. Beliau yang membacakan, saya yang meyalin ke huruf braile, biar saya tidak kesulitan menghapal."
Menginjak bangku SMA, anak pasangan Suwarti dan Ginem Sukardi itu mengaku tidak memiliki aktivitas yang berarti. Prestasi akademisnya pun biasa saja. Suatu hari, cerita Anik, tanpa sengaja ia mendengar siaran Radio Carolina, Surabaya. Dari radio itu ia memperoleh informasi tentang Pendidikan Tunanetra Islam Karunia (Yaptunik), yang membuka kesempatan kepada penyandang tunanetra dan berkeinginan belajar membaca ayat suci Al Quran secara gratis. Bahkan dijanjikan lahan pekerjaan. Pucuk dicinta ulam tiba. Anik yang telah lama berkeinginan fasih baca Quran meminta sang Ibu mengantarkannya ke Yaptunik.
Singkat cerita, bersama 10 santri lainnya Anik kemudian mendapat bimbingan dari Ketua Yaptunik, Adi Broto, yang juga tunanetra. "Pak Adi adalah sosok guru yang sangat baik. Dia dengan telaten mengajari bagaiamana membaca Al Quran dengan baik. Tak hanya itu, dia juga memberi motivasi yang kuat bahwa tak bisa melihat bukan halangan untuk membaca kitab suci," jelasnya.
Sang Ibu pun dengan penuh kasih-sayang mengantarkan Anik dari rumahnya ke Jl. Darmo Kali yang jaraknya lumayan jauh. "Anik ini luar biasa gigih dalam menuntut ilmu. Tak peduli hujan lebat bahkan banjir, dia tidak mau membolos. Dia baru mau kembali ke rumah bila jalanan sudah banjir besar dan tidak memungkinkan untuk dilalui," puji Ny. Suwarti.
Sebenarnya, bisa saja Anik naik angkot, tetapi Suwarti mengaku saat itu tidak memiliki dananya. Mau tak mau ia mengantar Anik menuntut ilmu. Perjuangan ibu-anak itu membuahkan hasil. Setahun kemudian Anik sudah lancar membaca Al Quran. Bahkan lebih dari itu, ia juga dinilai bersuara bagus sehingga Adi Subroto rela mendatangkan guru khusus buat Anik belajar qira'ah. "Untuk qira'ah, saya diajari oleh Pak Muchtar dari masjid Al Falah, Surabaya," terang Anik.
Berkat ketekunan plus suaranya yang bagus, pada 2002 Anik menyabet gelar juara pertama qira'ah tingkat Propinsi Jatim. Kala itu pesertanya campuran. Maksudnya, ada tunanetra ada pula yang tidak. "Sampai sekarang pun kalau ibu-ibu di kampung ada acara pengajian, saya selalu yang mengawali acara dengan membaca ayat suci."
Gandhi Wasono M. / bersambung
KOMENTAR