Kakak Bapak pernah ingin memelihara aku. Ia juga sering menjenguk selama aku di rumah sakit. Tapi Bapak malah mengancam. Menurut Bapak, ia punya hak untuk memperlakukan aku sekehendak hatinya. Bapak bilang, "Terserah aku, mau dimasukkan ke sumur, diinjak-injak, atau dimatikan, itu anakku!" Para tetangga sekitar pun memilih diam karena mereka tahu, Bapak sangat temperamental. Bahkan tak jarang Bapak ke luar rumah membawa parang.
Oh Ibu, di manakah kau sekarang? Aku ingin sekali memeluk Ibu. Menurut Bibiku, Ibu sudah tak bisa lagi dihubungi sejak setahun terakhir ini. Ia juga belum tahu penderitaan yang aku alami selama tiga tahun ini.
Seminggu sudah aku dirawat di rumah sakit. Luka-luka di sekujur tubuhku pun perlahan-lahan mulai sembuh. Bahkan berat badanku pun makin bertambah. Aku merasa makin sehat, jiwa dan raga, tanpa Bapak. Melihat kondisiku semakin membaik, polisi mengantarku pulang ke rumah Mbah Tumi.
Bapak memang sudah ditahan polisi sejak Bu Yuli melaporkan perlakukan kasarnya terhadapku. Semenjak Bapak tak ada, ketegangan di rumah mulai mencair. Mbah dan Bibiku pun mulai bisa tersenyum. Tetangga dan keluarga Bapak lega karena Bapak berada dalam tahanan. Tentu saja suasana ini membuatku bahagia.
Rencananya, pemerintah daerah akan menitipkan aku ke sebuah panti asuhan. Di sana, aku akan menjalani rehabilitasi mental dan mendapat jaminan sekolah hingga lulus SMU. Aku memang tak nyaman tinggal di dekat rumahku lagi, yang hanya membuatku selalu teringat akan kekejaman Bapak.
Sekilas, Mus (35) tak terlihat kasar apalagi kejam. Pria berkulit putih ini justru terlihat santun dan ramah. Logat bicaranya seperti orang Melayu. "Saya pernah 5 tahun bekerja di Malaysia dan Singapura," katanya bangga. Namun, hasil bekerja di negeri orang itu tak terlihat nyata karena istrinya dinilai boros. "Saya kecewa, hasilnya sia-sia. Seharusnya uang itu dibelikan kebun atau sawah agar saya puas," ungkapnya.
Sepulang dari merantau, Mus minta istrinya, Khotimah, gantian bekerja di luar negeri dan ia mengurus anak. Belakangan, uang kiriman Khotimah tersendat. Mus curiga istrinya mengirim uang hanya untuk keluarganya sendiri. "Saya enggak pernah pakai uang kiriman buat foya-foya, kok. Selalu saya gunakan untuk keperluan keluarga."
Lilitan kesulitan ekonomi itulah yang menurut Mus sering membuatnya emosional. Terlebih IK dianggapnya malas. "Hari itu saya sedang kesal. Istri pun sulit dihubungi. Mau makan, enggak ada uang. Pikiran mumet, sementara IK malas. Akhirnya saya marah. IK saya tempeleng dan pipinya saya pukul pakai sapu," akunya datar.
Ia bersikeras, hanya sekali itu menganiaya putrinya. "Menyundut dengan obat nyamuk, juga cuma sekali," kata Mus yang mengaku menyesal telah menyakiti IK. "Saya jadi bapak yang tega karena khilaf. IK seharusnya saya rawat baik-baik. Sekarang, setiap melihat foto dia di HP, saya menangis," ujarnya.
Tentang tuduhan pernah memperkosa IK, Mus membantahnya. Katanya, ia hanya memeganng kemaluan IK. "Itu karena nafsu setan. Enggak sadar." Untuk itu, IK akan divisum dan jika benar Mus melakukan perkosaan, ancaman hukumannya pasti bertambah.
Berbagai alat bukti kekerasan sudah diamankan polisi dari rumah Mus. Di antaranya, palu, pecut, pipa besi, pisau dapur, obat nyamuk, dan sapu lidi. "Pipa besi dipakai untuk memukul kepala IK sehingga rambutnya tak bisa tumbuh," kata penyidik, Briptu Nugraha.
Ahmad Tarmizi
KOMENTAR