Sepanjang ingatanku, di hari naas itu suamiku bertugas sebagai masinis untuk perjalanan malam dari Stasiun Gambir menuju Surabaya. Biasanya ia hanya bertugas sampai Stasiun Pekalongan, selanjutnya diganti oleh masinis lain.
Saat akan berangkat tugas, tidak kulihat tanda-tanda yang aneh. Sebelumnya, ia hanya minta dibuatkan minuman segar. Lalu kubuatkan minuman jeruk instan. Setelah diminum, ia bersiap berangkat kerja. "Hati-hati, jaga anak," katanya pada Heni, anak sulung kami. Seperti biasanya, aku pun berpesan kepadanya agar berhati-hati saat bertugas.
Sebagai istri masinis, aku tahu tugas suamiku berat dan berisiko. Bila membawa penumpang dan terjadi musibah, tentu masinis yang harus bertanggung jawab. Perihal risiko masinis, aku paham betul karena ayahku dulu juga seorang masinis kereta api langsir.
Ah, seandainya tahu bakal ada kejadian ini, tentu saja aku melarangnya berangkat kerja. Tapi semua sudah terjadi, bukan? Meskipun berusaha tabah, aku tetap berharap agar selama menjalani pemeriksaan ia senantiasa sehat. Sebenarnya aku ingin sekali mendampinginya, namun kabarnya ia belum boleh dijenguk. Teman dan saudaranya yang berniat menjenguk juga belum diizinkan.
Yang kudengar, suamiku kini dinyatakan sebagai tersangka, namun pihak kantor pun belum memberitahu soal status tersebut. Itu sebabnya aku jadi terus bertanya-tanya, apakah suamiku nanti akan tetap menerima gaji? Apakah ia akan diberhentikan sebagai masinis? Entahlah. Lebih baik aku tidak memikirkan hal itu. Aku berdoa dan berharap yang terbaik saja.
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR