Tentu saja aku merasa lega sekali karena tak dihukum mati. Aku janji, di penjara nanti bisa menjalani sisa hidupku dengan lebih baik. Selama ini pun, aku terus memperbaiki diri dengan rajin beribadah. Kalau boleh berharap lebih, sih, aku ingin sekali bisa menghirup udara bebas. Aku ingin menikmati masa tuaku di Kuningan, Jawa Barat, desa asal istriku. Di sana, aku ingin bertani saja. Atau kembali berkumpul bersama adik bungsuku, Dahlia. Dialah satu-satunya keluarga yang masih kumiliki dan rajin hadir tiap kali aku menjalani persidangan.
Yang jelas, aku tidak pernah menyangka hidupku akan berakhir di balik jeruji besi. Seumur hidup, pula. Aku memang mengaku salah dan siap bertanggung jawab. Uniknya, sebelum ditangkap polisi, aku pernah bermimpi masuk ke sebuah gedung dan di situ bertemu orang-orang berdasi. Yang aneh, mimpi itu beberapa kali terulang. Tak lama setelah mimpi-mimpi itu muncul, Sabtu subuh, 9 Januari 2010, polisi menangkapku di rumah kontrakanku di Gang Sesama, Pulo Gadung, Jakarta Timur. Mungkin itulah penjelasan mimpiku.
Disodomi
Aku sama sekali tak melawan saat ditangkap polisi. Mau bagaimana lagi? Aku memang bersalah, kok, melakukan kejahatan yang sadis. Sudah 14 bocah lelaki jadi korban penyimpangan seksual yang kualami. Hanya permohonan maaf dan penyesalan yang teramat dalam yang ingin kusampaikan kepada masyarakat, polisi, jaksa, hakim, dan tentu saja keluarga korban.
Mungkin banyak orang bertanya, kenapa aku memiliki penyimpangan itu. Lahir di Magelang sebagai anak ke 9 dari 11 bersaudara, semasa kecil aku kerap mengalami kekerasan dari kakak-kakakku. Mereka sering memukul atau membenturkan kepalaku ke tembok. Aku juga sering diejek bodoh dan bungkik (pendek). Tak tahan dengan segala tekanan itu, umur 12 tahun aku kabur ke Jakarta. Sejak saat itu, aku jadi anak jalanan.
Petualangan selama pelarian di Jakarta ternyata membuahkan hal mengerikan, yang celakanya terus membekas dalam diriku sehingga aku mengalami kelainan jiwa. Suatu ketika, seorang pria memaksaku melayani nafsu bejatnya. Aku disodomi di Lapangan Banteng, Jakarta. Aku tidak berdaya karena diancam dengan pisau. Seingatku, dua kali aku mengalami kekerasan seksual macam itu.
Setelah dewasa, aku menikah dengan Neng Erah Saerah. Kami bercerai karena aku tidak bisa melakukan hubungan suami-istri. Saat itulah aku baru menyadari, ada yang tak beres dengan diriku. Ternyata hasratku hanya menggelora dengan anak laki-laki! Tak ingin kembali ke kehidupan seperti itu, aku kembali mencoba menikah lagi. Kali ini dengan Parmiatun. Lagi-lagi aku tak bisa memberi keturunan, padahal sangat menginginkannya. Gara-gara ingin punya anak, aku sempat menculik anak perempuan berumur 5 tahun yang kuberi nama Rona. Kini ia sudah kembali ke pangkuan orangtuanya (NOVA 1145/XXIII).
Tak mudah menjelaskan apalagi mencari pembenaran atas semua perbuatanku terhadap bocah-bocah lelaki yang tak berdosa itu. Biasanya, hasrat menyodomi mereka tiba-tiba saja muncul ketika melihat wajah tampan mereka. Tampan seperti Ardiansyah. Saat itu, tiba-tiba saja aku rindu kepadanya. Jika si bocah menolak jika kuminta melayaniku, kemarahanku langsung memuncak. Aku langsung mengambil tali rafia dan menjerat lehernya sampai lemas tak berdaya, baru kemudian kulampiaskan nafsu bejatku. Usai itu, biasanya aku menyesal.
Namun, apalah arti penyesalan itu karena aku selalu mengulanginya lagi, lagi, dan lagi. Sering aku bertanya, kenapa harus mengalami hal ini? Tak jarang pula aku mengutuk diriku sendiri. Terutama setelah menghabisi nyawa bocah-bocah itu. Aku terpaksa membunuh mereka karena takut mereka melapor ke polisi lalu aku ditangkap. Karena diburu rasa takut itu pula, aku memilih cara mutilasi demi menghilangkan jejak. Jujur, aku sering merenung, kok, bisa melakukan semua itu hingga berulang-ulang, ya?
Sita Dewi / bersambung
KOMENTAR