Ruffneck Jins Bukan Produk Sembarangan
Salah satu penggiat denim lokal adalah Adityawarman (35), yang mengusung merek Ruffneck Jeans. Ceruk pasar yang tersisa dari pasar denim di Indonesia, kata Adit, sangat baik. "Denim lover dan para fashion lover mulai melirik local brand clothing," jelasnya.
November 2009 merupakan awal munculnya Ruffneck di pasar denim Nusantara. Namun, baru awal 2010 beragam merek denim bermunculan. Hal ini merupakan angin segar. Meski demikian, lanjut Adit, tak ada jalan yang dilalui tanpa krikil. "Kami juga menemukan beberapa hambatan dalam menjalankan bisnis ini. Hambatan utamanya adalah bagaimana mengedukasi pasar tentang produk kami. Kami ingin pasar cepat menyadari, produk kami bukan produk sembarangan. Meski kecil, tapi memiliki kualitas produk yang bagus yang tidak kalah dengan produk dari luar negeri. Hambatan lainnya, ya, masalah permodalan."
Dari seringnya berkecimpung dengan usaha itu, terbetiklah niat untuk memiliki usaha sendiri. Akhirnya, 2 November 2009 Ruffneck lahir. "Nama itu diambil dari bahasa slank Inggris - Amerika yang berarti panggilan untuk preman yang lebih banyak menggunakan otak. Namun ,ada juga yang menyebut Ruffneck sebagai arti dari Rough Neck, yang artinya buruh," beber Adit yang memulai usaha ini dengan modal sekitar Rp 100 juta.
Melihat banyak produk denim lokal saat ini, "Absoloutly possitive. Dengan bermunculannya merek-merek denim lokal, setidaknya bisa meningkatkan rasa kecintaan terhadap produk dalam negeri. Masyarakat harus mulai disadarkan, menggunakan merek internasional tidak secara otomatis jadi keren. Buktinya, Ruffneck punya karakter brand yang kuat, fabrikasi yang bagus, dan material yang bermutu," imbuh Adit yang menjual produknya sekitar Rp 400 ribu sampai Rp 550 ribu.
Selama merintis usaha ini, Adit sudah memiliki pelanggan di seluruh Indonesia dan beberapa negara tetangga. Tepat di ulang tahun Ruffneck nanti, Adit akan menambah jenis produknya dengan mulai membuat work shirt dan t-shirt. "Selain itu, kami akan terus bereksplorasi dengan jenis materi denim yang lebih bagus."
Untuk itu, Adit mengaku semua ide terus mengalir secara alami. "Kami banyak mendapat masukan ide dari melihat. Baik itu dari film, video klip, atau melihat orang yang cara berpakaiannya enak dipandang. Di samping itu, produk kami dipengaruhi oleh international brand seperti Dior, Homme, Nudie, Flathead, dan Samurai Jeans."
Berawal dari sulitnya mencari denim lokal yang cocok dengan postur tubuhnya yang besar, Maret 2010 Agus Indra Gunawan (31) justru melihat peluang pasar denim lokal. Dari pengalaman itulah Agus akhirnya memilih memproduksi denim sendiri.
Kendati usia usahanya masih seumur jagung, agar memiliki kesan berbeda dengan denim lokal lainnya, Agus memberi berbagai sentuhan berbeda. "Kami menambahkan seni lukisan tangan pada saku belakang, sehingga membuat konsep kami sebagai jins pribadi semakin nyata. Ke depan, kami ingin membuat yang lebih pribadi lagi, dimana masing-masing pelanggan boleh menentukan jenis arc, bahan leather patch dan warna rivet yang diinginkan," jelas Agus yang ditemani istrinya Ike Angelia saat berbincang dengan NOVA.
KOMENTAR