Setelah tiga tahun berpacaran, kami menikah di awal Agustus 2009. Ketika itu Abang meminangku dengan membawa hantaran sebesar Rp 35 juta. Dengan jujur Abang berterus terang ke orangtuaku, ia hanya memiliki uang sejumlah itu. Orangtuaku salut atas kejujuran Abang dan menerima pinangannya. Kami menikah di Wisma Mariendal. Suasana pernikahan kami cukup meriah, meski tak terlalu mewah. Untuk orang Batak seperti kami, saat menikah harus membeli kain ulos, sapi, dan lainnya, yang biayanya tak sedikit.
Abang juga amat penurut. Aku minta berhenti merokok, ia mau dan patuh. Apalagi setelah aku hamil, kubilang padanya, asap rokok tak baik untuk kesehatan janin.
Sejak menikah, Abang juga selalu menyetor semua gaji bulannya sebesar Rp 2 juta kepadaku. Ia hanya mengambil Rp 50 ribu saja sebagai pegangan di dalam dompetnya. Meski kami tak hidup bergelimang harta, Abang tak lupa hari ulang tahunku. Tahun lalu, ia mengajakku ke syawalan dan membelikanku sepatu sebagai kado. Sampai saat ini, sepatu pemberian Abang masih kusimpan sebagai kenang-kenangan.
Oya, ada satu momen istimewa yang juga tak pernah aku lupa. Tanggal 16 Agustus lalu, Abang berulang tahun. Paginya aku sengaja tak mengucapkan selamat karena ingin memberi kejutan untuknya. Diam-diam aku membeli kue tart. Saat Abang pulang kerja, ia memanggil-manggil aku, karena aku tak terlihat di sekitar rumah. Padahal, aku bersembunyi dalam kamar. Begitu Abang masuk ke kamar, aku langsung menyanyikan lagu Happy Birthday dan mencium pipinya. Kuhidupkan pula lilin di atas kue tart ulang tahun Abang. Ah, ia bahagia sekali hari itu. Ia memeluk dan menciumi perutku bertubi-tubi sampai aku kegelian. Saat itu terbersit rasa heran dalam benakku. Tak biasanya Abang mencium perutku yang mulai membuncit. Rupanya itulah ciuman terakhir Abang karena dua hari kemudian Abang tewas diterjang peluru. Oh Tuhan, andai ini cuma mimpi buruk saja...
Kepolosan, kejujuran, kesetiaan, kesopanan, dan tanggung jawab Abang adalah semua sifatnya yang aku sukai. Bapakku, Saut Satahi Hasibuan (58), pun amat menyayangi menantunya itu. Apalagi, sejak aku mengandung, perhatian dan kasih sayangnya kian besar terhadapku. Bahkan jadwal kontrol ke dokter pun, Abang yang ingatkan.
Abang juga sangat menyukai masakan tradisional. Apalagi buatan Mamakku. Ia akan makan lahap sekali bila disuguhi ikan asin dan gulai daun ubi tumbuk. Ia tak suka makanan cepat saji atau yang serba instan.
Ya, mengenang Abang memang tak akan pernah ada habisnya. Beruntung aku punya orangtua yang mau mengerti aku. Mereka banyak memberiku penghiburan. Kini, setiap ke kantor atau periksa kandungan, aku selalu ditemani Bapak.
Untungnya pula aku bekerja sehingga tak sampai harus menyusahkan orangtua atau keluarga lain. Memang, sih, setelah Abang wafat, aku mendapat santunan Tunjangan Kematian sebesar tiga bulan gaji, sumbangan dari Bhayangkari dan Kapolda Sumatera Utara, serta santuan duka dari Bank CIMB Niaga, yang totalnya Rp 40 juta. Uang itu aku depositokan untuk menghidupi dan membiayai sekolah anakku kelak. Namun, jujur saja, aku terkadang waswas dengan pekerjaanku saat ini. Nasibku tak mungkin bisa terjamin. Sewaktu-waktu aku bisa saja kena PHK bila perusahaan tak ada untung.
Aku berencana ingin mengajak tiga janda polisi yang kemarin tertembak dalam tugas untuk duduk bersama. Aku ingin kami berempat menemui Ibu Ketua Bhayangkari Sumatera Utara, Ny. Suryatningsih Oegroseno, agar mau memberi perhatian terhadap nasib kami. Aku ingin berkata kepadanya, "Bu Kapolda, aku ingin jadi PNS di lingkungan Polri." Aku ingin Bu Kapolda memperhatikan nasibku dan anakku.
Oya, aku pun sempat dijanjikan oleh Bapak Kapolda Sumut, bahkan ada suratnya. Dalam surat itu dinyatakan, bila anakku sudah besar dan ingin menjadi polisi, aku bisa memperlihatkan surat itu. Semoga beliau akan selalu ingat...
Debbi Safinaz
KOMENTAR