Harum Sabun Wangi
"Ini foto terakhirnya. Saya sendiri yang mengambil saat kami umrah bulan Ramadan kemarin," kata Hj. Rosnawati (38) sambil menunjukkan foto (alm) H. Deto Sutejo (39) dari telepon genggamnya. Ketika umrah bersama suami, kakak serta kakak iparnya, Rosna sebetulnya sudah merasakan ada sesuatu yang ganjil. "Di pesawat, baik saat pergi maupun pulang dari Jeddah, entah kenapa kami duduk terpisah. Saya sederet dengan ipar. Mungkinkah itu isyarat Tuhan akan memisahkan kami?"
Tugas sang suami sebagai polisi, memang amat dipahami Rosna. Toh, ketika Senin (20/9) ia menerima SMS dari Deto soal penggerebekan teroris dan ia ikut terlibat, Rosna gentar juga. "Saya cuma bilang, Selasa malam jangan pergi-pergi," kenangnya tentang lelaki yang sudah 14 tahun menikahinya. Selasa malam itu memang giliran Deto piket di Polsek Hamparan Perak. "Enggak seperti biasanya, malam itu dia harum sekali. Wangi sabun segar."
Tengah malam, Rosna gelisah. "Entah kenapa, saya membuka-buka album pernikahan kami dan menunjukkan ke anak bungsu kami, Namira (3). Malam itu saya enggak bisa tidur." Kegelisahan itu terjawab ketika pukul 03.00, Kapolsek Hamparan Perak menelepon, menggunakan ponsel Deto.
Pergi sudah Deto yang romantis dan penyayang. "Sehari sebelumnya, dia membelikan ikan untuk saya tapi saya enggak mau makan," tuturnya sambil terisak. Rosna lalu berkisah, betapa sayangnya Deto kepadanya dan anak-anak. "Kalau saya sakit, enggak perlu bangun sedikit pun dari tempat tidur. Dia yang menyediakan makanan, obat, sampai menyuapi. Dia juga senang memijat kalau saya lelah. Tiap jalan berdua, dia selalu menggandeng tangan saya," kenang Rosna.
Deto, kata Rosna, juga suka menasihati tahanan, mengingatkan mereka salat, bahkan meminjamkan ponselnya agar tahanan bisa melepas rindu dengan keluarganya. "Sekarang dia sudah tenang di sana. Saya harus kuat agar bisa membesarkan tiga anak kami. Saya rajin zikir agar kuat," kata ibu dari Bima (13), Gusti (10), dan Namira ini.
"Tuhan, lindungilah aku dalam pekerjaanku. Berkati pekerjaanku. Semoga apa yang aku kerjakan berguna bagi orang dan membawa damai," begitu doa yang dipanjatkan mendiang Aiptu Baik Sinulingga (45), saat kebaktian keluarga Selasa (21/9) petang di rumahnya, Tanjung Gusta, Deli Serdang. "Dia memang sangat menyintai pekerjaanya. Baginya, jadi polisi sudah panggilan jiwa," kata Tabita br Ginting (42).
Selasa malam itu, usai kebaktian selesai, Baik pamit tugas piket. Rabu (22/9) dini hari, Tabita mendapat telepon. "Bu, sabar, ya, Bapak kena tembak." Tabita pun lunglai dan semakin lemas setelah melihat suaminya sudah terbujur kaku di RS Bhayangkara, Medan. "Melihat petugas membawa senjata laras panjang di RS, rasanya saya ingin lari, merampas senjata, dan menembakkannya ke badan saya agar saya bisa merasakan apa yang suami saya rasakan," ujarnya.
Semasa hidupnya, kata Tabita, sang suami sering berangan-angan, bila kelak pensiun, ia ingin tinggal di kampung memelihara ayam dan bercocok tanam. "Jadi saya menyimpulkan, dia ingin kembali ke tanah kelahirannya." Baik juga kerap mengungkapkan keinginannya agar putra tunggal mereka, Ardiles Maranata Sinulingga (17), mengikuti jejaknya jadi polisi. "Sayangnya, mata Ardiles minus dua. Untuk itu saya memohon kebijakan pemerintah terlebih Kapolri, agar putra kami bisa masuk jajaran kepolisian walau sebagai PNS. Kami sangat berharap ada pertimbangan khusus, apalagi suami saya gugur dalam tugas," harap Tabita.
KOMENTAR