Sesungguhnya SBY, yang oleh Inu disebut Pak Beye, sudah lama dikenal Inu. Persisnya, sejak SBY menjadi Menkopolkam. "Kebetulan dia jadi presiden sehingga saya masuk Istana," cerita Inu yang kini ditugaskan di Yogyakarta sebagai subeditor. Nah, melihat kehidupan sehari-hari di Istana Negara itulah, rasa ingin tahu Inu jadi terusik. Uniknya, "Saya tertarik dengan hal yang remeh-remeh. Misalnya, siapa yang masak buat presiden atau siapa, sih, yang mengangkat podium setiap presiden mau pidato," kata lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta ini.
Jadilah ia rajin mengajak ngobrol tukang kebun, tukang sapu, supir, dan penjaga kantin di kompleks istana. Juga mengamati hal-hal unik yang oleh orang lain mungkin dianggap sepele atau tidak penting. "Kan, pakar komunikasi Effendi Gazali bilang, jika kita hanya mencari yang penting, maka kita akan terjebak ke pencitraan. Tapi jika kita teliti melihat yang tidak penting, maka kita akan melihat substansi. Hal-hal yang ditutupi atau tak dikabarkan, sebetulnya adalah inti dari apa yang ada." Karena itulah, katanya, untuk bukunya itu, ia mengambil motto, "Mengabarkan yang tak penting agar yang penting tetap penting".
Begitulah, Inu rajin berdialog dengan pengelap mobil presiden, tukang kejar tikus dan kucing di Istana, serta lainnya. "Kalau enggak berdialog dengan mereka, saya enggak akan tahu ceritanya," ungkap Inu yang rajin melengkapi cerita-cerita itu dengan dokumentasi foto yang lengkap dari kamera kantor.
Awalnya, kata Inu, semua hasil obrolan yang remeh-temeh dan hasil jepretannya itu dituangkan ke blog sosial milik Harian Kompas, Kompasiana. Persisnya sejak 15 September 2008. "Tanggapannya bagus, apresiatif. Istana adalah gambaran Indonesia juga. Di sana, dulu ada buruh yang dibayar di bawah UMR, tapi syukur setelah saya tulis ada peningkatan menjadi Rp 900 ribu, bahkan dapat makan siang. Saya senang melihat mereka bahagia," papar Inu mencontohkan ironi itu.
Belakangan, Pepih Nugraha, administrator Kompasiana, menyemangati Inu agar membukukan tulisan-tulisan di blog itu. Jadilah buku berjudul Pak Beye dan Istananya. Ternyata Pepih jitu melihat peluang karena kemudian terbukti, buku itu laris di pasaran. Bahkan, "Dari bahan yang ada, bisa dijadikan tetralogi tentang SBY dan satu buku tentang Jusuf Kalla."
Selain unik dan bicara tentang orang nomor satu di negeri ini sehingga mengundang rasa ingin tahu khalayak, buku karya Inu dinilai kaya data dan fakta. Detailnya pun patut diacungi jempol. Misalnya, cerita dan foto yang mempertanyakan apakah SBY punya tahi lalat atau tidak. "Saya memang suka detail. Lewat tulisan yang detail, orang akan punya bayangan atau impresi yang kita dapat. Itu yang memperkaya dan memperkuat tulisan. Kalau enggak detail, hambar," kata Inu.
Yang tak kalah unik adalah cara Inu memperoleh foto-foto. Katanya, nyaris tanpa persiapan. "Awalnya iseng-iseng saja. Ada yang menarik, saya foto. Sering kali enggak disiapkan. Seperti saat masuk dapur Istana, itu secara enggak sengaja. Di sana ada Bu Budi (juru masak, SBY, Red.) dan saya berhenti sebentar untuk mengobrol dan memotret dia."
Ahmad Tarmizi / bersambung
KOMENTAR