Dari Pasha ke Ukir
Dibanding Yogya, Solo, atau Pekalongan, usia batik Semarang memang tergolong masih muda. Baru empat tahun belakangan ini Pemkot Semarang menggalakkan industri batik. Salah satu perempuan yang tertarik mengikuti pelatihan membuat batik adalah Erna (41) atau yang dikenal dengan panggilan Bu Heru.
Lewat sejumlah pelatihan, Erna jadi paham riwayat batik Semarang yang zaman dulu dimotori para saudagar kaya. "Batiknya dibikin di kota lain," kata Erna yang setelah mahir ilmu membatik menciptakan batik Pasha. Di Kampung Batik, sentra batik yang disediakan Pemkot, tas batik buatan Erna selalu ludes dibeli. Dari tas, ia melangkah membuat kain dan baju pria.
Untuk motif, kata Erna, sesuai nama Semarang yang konon singkatan dari aseme arang-arang, "Batiknya berciri daun asam. Belakangan, kami juga membuat motif dengan mengambil ikon kota Semarang, seperti tugu muda, lawang sewu, dan gereja blenduk. Ikon ini tetap dipadu dengan motif daun asam." Jujur, katanya, sampai kini para perajin masih terus mencari identitas batik Semarang. "Saya pribadi sedang mengembangkan batik ukir," tutur Erna yang omset usahanya bisa mencapai Rp 25 juta per bulan.
Izin Para Sesepuh Kalteng
Batik tradisonal ini di Kalteng disebut banang bintik. Motifnya berpijak pada ukiran, rumah adat, juga Batang Garing alias Kalpataru, si pohon kehidupan. Warna dasarnya pun hanya 5 berdasar filosofi budaya Kalteng yang tak boleh dilanggar. Oleh sebab itu, "Sebelum melakukan modifikasi, saya minta izin kepada para sesepuh."
Masalahnya, tutur bunga, batik tradisional Kalteng sulit bersaing dengan batik Jawa atau propinsi lain, jika tidak dimodifikasi. "Makanya motifnya saya padukan dengan motif kerajinan rotan, bunga-bunga, atau ikan yang banyak dijumpai di Kalteng. Hasilnya, kini benang bintik bisa bersaing di pasar atau pameran," jelas Bunga.
Sudah sejaak lama sebetulnya Bunga mimpi melakukan modifikasi itu. Kala itu, 10 tahun silam, ia masih menjadi tenaga pemasaran produsen batik di Kalteng. "Masukan saya tak kunjung direspons. Saya berpikir, kalau punya usaha sendiri pasti bisa menuangkan semua keinginan saya. Saya, kan, sering ikut pameran di Jakarta, melihat motif batik dari provinsi lain yang bagus-bagus."
Tahun 2000 Bunga mewujudkan impiannya. Ia memboyong lima tenaga ahli batik dari Yogya yang ia kontrak per tahun. Sayangnya, transfer ilmu tak berjalan lancar. "Tenaga kerja saya keluar-masuk. Mereka tidak telaten seperti orang Jawa. Mungkin karena masyarakat Kalteng sudah terlalu lama dimanja oleh kekayaan alam. Menyadap karet sebentar saja, sudah dapat uang. Beda dengan bekerja memproses kain batik," tutur perempuan ulet yang dulu secara rutin dibimbing mendiang Iwan Tirta ini.
Berhubung tenaga kerja, bahan baku, dan obat-obatan batik masih didatangkan dari Pulau jawa, harga benang bintik pun relatif lebih tinggi dibanding batik dari Jawa. "Tetapi buat pembeli tak masalah karena mereka mendapatkan motif klasik khas Kalteng. Terlebih para kolektor," kata Bunga yang hanya membuat sehelai kain untuk satu motif sehingga banang bintik jadi lebih ekslusif.
Henry, Rini / bersambung
KOMENTAR