Belum perlunya redenominasi, kata Aviliani, juga karena di tahun 2015 Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. "Kita harus rembukan dulu dengan negara-negara ASEAN yang lain, apakah akan menyatukan mata uang kita atau tidak? Jadi, masih banyak PR sehingga tidak perlu buru-buru diwacanakan."
Redenominasi yang sebenarnya tidak memiliki implikasi apa-apa, lanjutnya, justru menimbulkan dampak sistemik, "Orang secara psikologis jadi takut lalu berbondong-bondong membeli dolar. Akibatnya, rupiah justru anjlok. Kondisi ekonomi yang tadinya sedang nyaman, malah memunculkan masalah lain."
Kendati begitu, ia berulang kali menekankan, masyarakat tidak perlu panik mendengar rencana pemangkasan tiga nol di belakang pecahan uang rupiah. "Justru kepanikan itu yang akan mengganggu perekonomian. Diperlukan keyakinan masyarakat untuk tidak melakukan keputusan yang tidak rasional seperti beramai-ramai membeli dolar."
Agar perekomian tidak gonjang-ganjing dan rupiah tetap kuat, "Perilaku masyarakat yang masih suka membeli barang impor pun harus diubah. Belilah barang-barang dalam negeri sehingga kapital atau uang kita tidak keluar semua. Makin banyak uang keluar, rupiah akan melemah dan itu bisa menimbulkan inflasi," sarannya.
Kata sanering yang merupakan bahasa Belanda, secara harafiah berarti penyehatan atau pembersihan. Sedangkan dalam kaitannya dengan bidang moneter, berarti pemotongan nilai uang. Kebijakan sanering umumnya dilakukan dalam situasi ekonomi sedang kacau atau terjadi inflasi yang sangat tinggi sehingga nilai mata uang diturunkan dan bukan harga barang yang diturunkan lewat cara menambah stok barang.
Sanering pernah terjadi di Indonesia tahun 1959 dan membuat masyarakat panik karena secara mendadak uang mereka tidak memiliki nilai yang sama seperti sebelumnya.
Dengan kata lain, uang yang tadinya bernilai Rp 100 ribu, dipotong menjadi Rp 100. Nah, karena nilainya sudah diturunkan, jumlah barang yang dibeli dengan uang baru akan lebih sedikit dibanding bila dibeli dengan uang lama. Contohnya, kalau dengan Rp 100 ribu uang lama bisa memperoleh barang A, maka dengan Rp 100 pecahan baru, kita tidak bisa membeli barang A tadi.
Sementara redenominasi berarti penyederhanaan penyebutan satuan harga maupun nilai mata uang dengan mengurangi jumlah digit. Contohnya, menghilangkan tiga angka nol dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Meski jumlah angka nominal (angka nol) berkurang, nilai mata uang tetap sama. Jadi, seandainya Rp 1.000 menjadi Rp 1, nilainya tetap sama dengan nilai semula. Barang A yang tadinya berharga Rp 1.000, akan tetap bisa dibeli dengan harga Rp 1 karena nilai nominalnya tetap sama.
Redominasi dilakukan dalam kondisi ekonomi normal dan stabil. Tujuan utamanya sebetulnya mengefisienkan sistem pembayaran dengan menyederhanakan nilai nominal uang karena jumlah digit yang lebih sedikit.
Sita Dewi
KOMENTAR