Beberapa hari belakangan ini, kata redenominasi begitu mendominasi percakapan kaum ibu dan masyarakat luas. "Aduh, bagaimana nasib kita kalau duit dipotong? Sudah miskin, tambah susah lagi hidup."
Ada pula yang menyikapinya berbeda. Seorang staf institusi pemerintahan, Tiktik Dewi Sartika (31), misalnya, justru menganggap ide ini menarik. "Teman saya dari Filipina pernah berseloroh saat menukar peso ke rupiah, katanya bangsa Indonesia seperti miliuner. Padahal, bukan miliuner, tapi nilai tukar rupiah kita yang rendah. Sedih juga karena sebenarnya ekonomi Filipina tidak jauh berbeda dengan kita," paparnya.
Kata Tiktik, pecahan mata uang bisa memberi kesan moneter rupiah lebih kuat di mata dunia. "Bayangkan dari awalnya USD 1 sama dengan Rp 10.000, jadi hanya Rp 10."
Meski menanggapi positif, ia punya sedikit kekhawatiran. "Takutnya akan ada banyak pembulatan ke atas dari biaya-biaya seperti pajak, bunga, transportasi, sampai makanan. Misalnya, apakah akan ada pembayaran sebesar Rp 1.75? Atau tiket bus Transjakarta seharga Rp 3,5 akan menjadi Rp 3 atau Rp 4? Pembulatan ke atas tentu memberatkan, mengelola uang bisa jadi lebih rumit," ujarnya.
Yang jelas, katanya, edukasi dan sosialisasi soal ini mutlak dibutuhkan. "Pokoknya, harus dipastikan redenominasi rupiah enggak membuat perekonomian rakyat semakin buruk. Perbaiki saja dulu kondisi ekonomi rakyat. Jangan sampai ide ini hanya jadi euforia sesaat melihat kestabilan rupiah saat ini."
Rasa was-was justru melingkupi hati Elida Lina Prasetyo (49), pemilik usaha Deritz Accessories dan Shasha Boutique di Jakarta. Selama ini, Lina belanja bahan baku di Cina. "Saya bingung, bagaimana nanti pengaruh nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing?" Maklum, ia selalu menggunakan mata uang yuan saat bertransaksi di Negeri Tirai Bambu. "Tergantung mana yang sedang bagus. Kalau dolar lagi bagus (harga beli murah, Red.), saya tukar ke dolar dulu, baru ke yuan. Tapi kalau yuan lagi bagus, biasanya saya langsung menukar rupiah ke yuan."
Sedangkan Qudsiyah Endah (31), sama sekali tidak khawatir, bahkan mendukung. "Soalnya, saya dengar redenominasi enggak memberi dampak apa-apa. Hanya beda pecahan saja. Dengan pecahan besar, ekonomi kita kelihatan lemah." Karyawati swasta ini memberi contoh, uang senilai Rp 1.000 saja sudah berbentuk koin, "Rasanya uang segitu sudah enggak berharga," katanya memberi alasan.
Walau mendukung, Qudsi menilai, upaya menyederhanakan uang rupiah bersifat mubazir jika kondisi ekonomi di Indonesia tidak membaik. "Kesannya saja nilai tukarnya berbeda, USD 1 jadi Rp 9, padahal, kan, nilainya sama, rupiahnya tetap lemah. Kok, seperti menipu diri sendiri, ya?"
Edukasi dan sosialisasi tentang redominasi, lanjutnya, amat penting. Alasannya, "Bayangkan saja kalau pola pikirnya belum berubah, nanti kita melihat barang seharga Rp 100, kita pikir murah, padahal itu setara Rp 100.000. Melihat rekening di tabungan, kita jadi bingung, sebenarnya uang kita tinggal berapa? Bisa jadi kita bingung mengenali yang mahal dan yang murah, tahu-tahu keuangan rumah tangga bobol kalau tidak hati-hati. Perlu adaptasi yang enggak sebentar," kata ibu satu anak ini.
Benarkah kekhawatiran mereka itu? Ekonom Aviliani meyakinkan masyarakat untuk tidak panik mendengar isu redominasi alias penyederhanaan nilai pecahan mata uang. "Jelas beda dengan sanering yang terjadi di tahun 1966. Saat itu, Indonesia mengalami hiperinflasi, sehingga uang dipotong dari Rp 1.000 jadi Rp 1. Kalau redenominasi, Rp 1000 jadi Rp 1 bukan karena nilainya jatuh, tapi untuk menyederhanakan saja dan tak ada implikasi apa pun," paparnya.
Penyederhanaan itu dilakukan karena mata uang Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Jika sudah ada redenominasi, posisi nilai tukar rupiah yang saat ini terhadap dolar adalah Rp 9.000 untuk USD 1, maka nanti berubah menjadi Rp 9 untuk USD 1.
Dengan penyederhanaan pecahan mata uang, lanjut Aviliani, "Kalau belanja enggak perlu bawa uang banyak. Atau dalam akuntansi, tadinya harus menulis triliunan, karena tiga nolnya dibuang jadi lebih sederhana," ujar wanita kelahiran Malang ini.
Meski menguntungkan, Aviliani menilai langkah redenominasi belum penting dilakukan, sehingga belum perlu juga diwacanakan. "Kalau dilakukan sekarang atau tiga tahun lagi, pasti membutuhkan biaya yang besar sekali karena harus mengganti semua uang dan mencetak yang baru."
Selain itu, perusahaan-perusahaan harus menyesuaikan sistem akuntansi dan transaksi yang juga membutuhkan biaya besar, "Padahal, banyak perusahaan harus melakukan efisiensi."
Sita Dewi/bersambung
KOMENTAR