Rasa sedih, duka, dan kehilangan, jelas kami rasakan. Dia masih terlalu kecil untuk pergi dan tak akan pernah kembali lagi. Sedih kalau mengingat baru dua minggu ini ia masuk sekolah. Berangkat sekolah pun sendiri, seperti harapan gurunya agar menjadi murid mandiri. Hanya di hari-hari pertama saja ia diantar ibunya.
Kami juga merasa aman-aman saja melepasnya sendirian karena sekolahnya dekat dan kompleks kami relatif aman. Dimas amat menikmati hari-harinya di sekolah. Setiap pulang sekolah, ia akan berceloteh panjang lebar tentang kegiatannya, teman-temannya, juga gurunya.
Yang aneh, di hari saat kami mengajaknya ke mal itu, seperti biasa aku minta istriku menyiapkan segalanya sebelum berangkat. Uniknya, hari itu kami harus bolak-balik masuk rumah karena ada saja yang ketinggalan, semisal jaket Dimas. Entahlah, apakah itu bisa disebut sebagai firasat. Kepada istriku, beberapa waktu lalu Dimas pernah mengeluh capek. Kami menduga karena ia baru menjalani hari-hari pertama sekolahnya sehingga wajar saja kalau capek. Firasat lagi? Entahlah, yang pasti, kini ia sudah tak akan pernah merasa capek lagi.
Aku hanya ingat, hari itu Dimas manis dan menurut sekali. Padahal, biasanya ia suka rewel bila keinginannya belum dituruti. Minggu lalu, misalnya, ia minta game PS. Saat aku dan istri mencari perlengkapan sekolahnya, Dimas yang sudah tidak sabar, terus-menerus berujar, "Kenapa enggak cari PS dulu?' Nah, beda dengan kemarin itu, dia manis sekali. Diajak ke ATM, menurut saja. Siapa kira justru di sana ia dipanggil Tuhan.
Dimas yang cerdas memang memberi kebahagiaan tersendiri bagi kami. Selain jago main komputer, Dimas juga ahli menaikkan layang-layang. Hobinya yang lain adalah menyanyi. Ia memang suka musik karena sejak dalam kandungan, kami sering memperdengarkan musik padanya.
Kini Dimas sudah beristirahat dengan tenang dalam tidur panjangnya. Selain berdoa agar arwahnya diterima di sisi Allah, kami sekeluarga juga berharap tantenya cepat sehat seperti sedia kala. Soal kasus ini, biarlah ditangani pihak berwajib. Pemilik mobil memang sudah berjanji akan membiayai perawatan sepenuhnya tapi aku ingin kasus ini diselesaikan sesuai dengan kaidah hukum.
Selamat jalan, anakku sayang...
Raut wajah Mad Hani (57) menampakkan penyesalan yang luar biasa. Ia terduduk lesu di Polres Jakarta Timur saat ditemui Kamis (29/7) sore lalu. "Saya enggak tahu lagi harus bagaimana. Saya hanya bisa berharap nanti mendapat hukuman yang ringan," ungkap ayah enam anak ini.
Mad Hani ditangkap petugas Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Timur Senin (26/7) di rumah anaknya setelah sekian hari sembunyi. Ia bercerita, di malam nahas itu, untuk pertama kalinya Mad Hani mengendarai mobil bertransmisi otomatis. "Biasanya, sih, saya antar-jemput majikan pakai mobil CRV atau Panther yang ada koplingnya." Berhubung sang majikan minta ia menyupiri mobil otomatik, kakek enam cucu ini menurut saja. "Awalnya saya enggak kagok. Buktinya, saya sempat menyupir ke Stasiun Kereta Jatinegara, lalu dari situ baru ke Cibubur Junction. Semua berjalan lancar."
Entah kenapa, ketika hendak pulang dari Cibubur Junction, Mad Hani yang seharusnya menginjak rem, malah keliru pedal gas. "Mungkin karena letak kedua pedal berdekatan, sehingga mobil seperti kuda ngamuk, langsung menabrak kaca dan di belakangnya ada orang," papar Mad Hani yang sudah bekerja dengan keluarga besar Lettu Imam selama hampir seperempat abad.
KOMENTAR