Pasar bunga-bunga artifisial mungkin belum sebesar pasar bunga asli. Namun, Riswandi Koedrat tak hanya mengandalkan modal nekat ketika memutuskan membuat toko bunga artifisial terbesar di Jakarta. Katanya, "Artificial flower is the future."
Bagaimana awalnya Anda mendirikan Blömst?
Sebenarnya usaha menjual bunga artifisial sudah dimulai oleh orangtua saya sejak lebih 25 tahun yang lalu. Kami punya ruko di Mangga Dua yang menjual bunga-bunga artifisial dan pernak-perniknya secara grosir ke penjual eceran. Namun, sejak dulu saya selalu punya keinginan untuk membuka toko sendiri.
Saya ingin punya toko bunga artifisial yang modern dan bergaya high end dengan cita rasa tinggi. Selain itu, saya pribadi adalah seseorang yang mencintai keindahan. Memiliki toko bunga sendiri membuat saya bisa menikmati keindahan setiap hari.
Setahun lalu Blömst dibuka. Bukan berarti dibukanya Blömst semudah membalikkan telapak tangan, ya. Selama 25 tahun, kami telah menjalin hubungan baik dengan penyedia barang yang kebanyakan berada di Cina. Dari mereka, kami mengimpor produk-produk yang berkualitas. Selain Cina, kami juga mengimpor vas dan pernak-pernik dari Thailand, Filipina dan India.
Kenapa memilih produk impor?
Alasannya sederhana saja, karena kualitas. Belum ada pabrik di Indonesia yang dengan serius memproduksi bunga artifisial. Di Indonesia, orang membuat bunga tiruan atau bunga plastik dengan bahan-bahan bekas atau kualitas rendah.
Oh ya, karena alasan ini pula kami lebih suka menyebut produk kami dengan kata "artifisial" atau "tiruan" dibandingkan "plastik". Orang masih sering mengasosiasikan istilah "bunga plastik" dengan produk murahan yang dibuat sembarangan. Sudah begitu, dijualnya pun di pinggir-pinggir jalan. Padahal, di luar negeri pembuatan bunga tiruan kini sudah mengalami kemajuan yang begitu pesat. Ini yang banyak orang tak tahu.
Sepesat apa teknologi pembuatan bunga artifisial di negara lain?
Di pabriknya di China, pembuatan sebuah bunga tiruan, mulai dari desain hingga selesai, bisa makan waktu hingga 6 bulan karena prosesnya memang sangat rumit. Mereka punya flower designer sendiri untuk mendesain bunga agar tampak seperti aslinya. Setelah itu, mereka harus memilih bahan yang sesuai. Sering kali, bahan bunga harus dibuat khusus agar menyamai aslinya. Belum lagi cara menyusun setiap helai daun dan bunga agar terlihat asli. Kalau ternyata hasilnya tak seperti yang diinginkan, mereka ulang lagi prosesnya dari awal. Rumit sekali. Tapi hasilnya, bunga tidak hanya terlihat asli, namun juga terasa asli saat disentuh.
Nah, dengan supplier-supplier dari Cina ini, toko kami banyak mendapatkan keistimewaan. Karena sudah lama berhubungan baik, ada pabrik yang hanya mendistribusikan produknya kepada kami saja di seluruh Asia Tenggara. Ada juga pabrik yang mau menerima pesanan desain bunga khusus dari kami. Tak semua toko bisa begitu, lho.
Kalau begitu, siap bersaing dengan pasar bunga asli, dong?
Memang, selamanya bunga tiruan tak bisa menggantikan keindahan bunga asli. Kami pun tak berencana untuk bersaing dengan penyedia bunga asli. Kami hanya ingin memberikan pilihan lain kepada pembeli. Bahwa untuk beberapa hal, pemakaian bunga artifisial punya keunggulan tersendiri. Untuk dekorasi kantor, restoran, dan institusi misalnya. Tak mungkin mereka repot-repot menggunakan bunga asli yang perawatannya harus diganti setiap 3 hari sekali, kan? Karena itulah, artificial flower is the future!
Mungkin bunga asli lebih cocok untuk event yang sifatnya istimewa, seperti pernikahan atau ulang tahun. Tapi kalau untuk dekorasi yang sifatnya semi-permanen, bunga artifisial jawabannya.
Banyak juga, lho, pelanggan yang salah masuk ke Blömst, mengira kami menjual bunga asli. Pernah ada seorang wanita yang salah masuk lalu mau keluar lagi. Namun, setelah berbincang dengan tim kami, dia lantas mengaku sering kerepotan bila harus mengganti bunga setiap tiga hari sekali di rumahnya. Setelah ngobrol-ngobrol, eh, dia malah belanja banyak di sini.
Tidak sedikit pula penyedia bunga asli yang menawarkan diri untuk bergabung dengan Blömst, menjual bunga asli dan artifisial berdampingan, tapi kami menolak. Itu bukan kami.
Ajeng/ bersambung
KOMENTAR