Entah kenapa, sejak bangun tidur pada Rabu (30/6) itu, rasanya aku ingin sekali bertemu kakak kandungku, Yati Heryati, yang tinggal di kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Aku sendiri tinggal di rumah mertua, kawasan Pengarengan, Jakarta Timur.
Mungkin karena aku tengah hamil enam bulan, keinginanku bertemu Kak Yati kuanggap sebagai keinginan si jabang bayi. Jadilah Rabu itu aku dan suamiku, Herman Susanto, berboncengan motor. Kebetulan ia tidak sedang bekerja karena baru saja sembuh dari sakit tifus.
Menjelang siang, kami pulang. Ketika sampai di kawasan Pasar Senen, kami berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Siang itu jalanan cukup padat. Banyak sepeda motor yang merangsek ke depan. "Hati-hati, A','' begitu aku memperingati suami yang kusapa Aa' alias kakak, karena kami berhenti persis di dekat pembatas jalur bus Transjakarta.
Begitu lampu lalu-lintas berganti hijau, sebuah sepeda motor dari belakang berusaha menyalip kami. Saat itulah sepeda motornya menyenggol setang sepeda motor kami. Aa terkejut dan tidak mampu mempertahankan keseimbangan sepeda motor yang kami tumpangi. Motor pun oleng lalu terjatuh.
Berikutnya, Aa ambruk ke kiri, sementara aku terpental ke kanan jalan dalam posisi tertelungkup. Badanku masuk jalur bus Transjakarta. Bersamaan dengan itu, bus melaju kencang dan sopirnya tak bisa mengerem laju bus.
Aku tak bisa menghindar lagi. Kaki kanan dan tangan kananku langsung terlindas roda bus. Saat terjatuh, aku masih mengenakan helm berstandar SNI sehingga tak bisa menghindari dari bus yang melaju kencang. Oleh karena posisi jatuhku telungkup, wajar bila aku tak bisa melihat dan menyadari apa yang terjadi.
Harus Amputasi
Sampai kakiku terlindas roda bus, aku masih tidak sadar. Anehnya, aku tak merasakan sakit saat terlindas. Semuanya terjadi begitu cepat, sampai aku tidak bisa ingat apa-apa.
Sekejap kemudian, orang ramai mengerubutiku. Suasana mendadak hiruk-pikuk. Aku pun membuka helm dan terkejut bukan kepalang begitu menyadari kaki kananku hancur. Celakanya, orang-orang yang mengerubutiku bukannya langsung menolong, malah sibuk melempari bus Transjakarta dan meneriaki supirnya.
Beruntung ada seorang wanita yang kemudian menolong lalu membawaku ke RS Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan taksi. Sampai di rumah sakit, aku nyaris tak ingat apa-apa lagi.
(Ani tiba di RS sekitar jam 13.00. Ketika keluarganya tiba di sana, dokter menyampaikan berita tak mengenakkan. Untuk menyelamatkan nyawa Ani, kakinya harus diamputasi. Keluarga pun berdiskusi dan akhirnya setuju. Operasi dilakukan sejak jam 20.00 hingga jam 01.00 dini hari. Dokter juga bilang, saat tiba di RSCM, detak jantung janin Ani masih terdengar.)
SITA DEWI/bersambung
KOMENTAR