Demi masa depan anak-anak, sekaligus mengajarkan kemandirian, tahun 2006 aku dan suami mengajukan Permanent Residence (PR) di Singapura. Alasan lainnya, kami khawatir dengan pergaulan anak-anak di Jakarta. Permohonan itu dipenuhi pemerintah Singapura. Maret 2006 aku bersama anak-anak, Kenan (17), Egan (16) Keyla (13), dan Moses (12) tinggal di Singapura. Suami tetap di Jakarta menjalankan bisnisnya.
Selama di Singapura semua terjadi sangat menyenangkan. Begitu musim libur sekolah tiba, anak-anak meminta Papanya datang. Lalu kami berlibur ke Malaysia. Atau sebaliknya, kami pulang ke Jakarta melepas rindu dengan keluarga atau mencari makanan favorit.
Sayang, keceriaan keluarga kami pudar kala Egan yang lahir 25 September 1994 mulai sering mimisan. Dokter yang memeriksanya mengatakan mimisan normal terjadi pada anak seusia Egan. Dugaanku, Egan yang punya bakat menggambar dan main musik, hanya kelelahan sehingga mimisan. Seminggu berlalu, obat dari dokter habis, Egan mimisan lagi.
Khawatir ada infeksi, aku kembali membawa Egan ke dokter THT. Hasilnya, diketahui Egan mengidap kanker hidung (Nasopharingeal Carcinoma) stadium 3! Dunia serasa kiamat! Tak pernah terlintas sedikit pun di benakku Egan kana terkena kanker. Aku segera mencari second opinion ke dokter lain sambil membawa hasil pemeriksaan dari dokter sebelumnya. Hasilnya, tetap sama. Kesedihanku tak terkira.
Aku lalu membawa Egan ke RS Cikini, Jakarta. Hasilnya pun sama. Bahkan dokter di rumah sakit ini menyarankan agar Egan dikemoterapi dan radioterapi. Setelah berunding dengan sanak keluarga, meski berat, Egan harus menjalani kemoterapi di Singapura. Kami khawatir bila tak menuruti saran dokter, akan menyesal. Sebab kata dokter, kankernya bisa menjalar ke mana-mana.
Hatiku agak tenang karena Egan ditangani profesor yang memberikan harapan kesembuhannya hingga 70-80 persen.
Total Egan menjalani 4 kali kemoterapi dan 35 kali dan radioterapi. Kedua hal itu tak boleh terlambat dijalani agar tidak menjalar ke otak. Yang mengharukan, tepat di hari ulang tahunnya, Egan harus menjalani kemoterapi. Teman-teman sekolah, teman konser, dan teman gereja datang sambil membawa kue.
Pasca kemoterapi rambut Egan rontok. Ia juga mual-mual dan susah makan. Keluhan lainnya, perut sakit dan susah buang air. Syukurlah setelah kemoterapi kedua, benjolan yang muncul di lehernya agak mengecil.
Yang mengharukan, di tengah sakitnya itu Egan masih mampu melakukan konser flute secara solo pada 27 Desember 2009. Itulah mimpinya sejak lama. Konser solo itu dilakukan di Victoria Concert Hall, tempat bergengsi di Singapura. Sejujurnya, bukan Egan yang kala itu ingin melakukan konser. Melainkan aku dan keluarga. Saat itu kami berpikir, konser itu bisa dijadikan terapi penyembuhan baginya. Kami hanya ingin memberinya semangat.
Sepanjang konser Egan memegangi lehernya, menahan sakit. Penonton menyambut dengan meriah, bahkan tak sedikit yang menitikkan air mata. Mereka terharu melihat daya juang Egan. Konser itu menjadi headline koran lokal Negeri Singa. Meski masih anak-anak, Egan mampu menyanyikan lagu Can't Take My Eyes Off You, di mana lagu itu belum pernah dimainkan anak-anak seusianya.
Kendati sakit, keceriaannya tak sirna. Ia pun optimis akan sembuh. "Kamu jangan khawatir jika memang Tuhan belum memberi waktu, tak akan meninggal. Sebaliknya jika Dia menginginkan, meski Papa banyak uang atau mendatangkan profesor pintar, kamu akan dipanggil Tuhan," pesan suamiku memberi semangat.
Noverita K Waldan/bersambung
KOMENTAR