Senin (31/5) siang, sebuah pesan pendek masuk ke telepon selulerku. Isinya sungguh mengejutkan. Si pengirim pesan mengatakan, ia telah menculik anakku, Jefri Ardiansyah atau Dede (9). Si penghirim pesan juga mengancam dan minta uang Rp 35 juta sebagai tebusan Dede. "Antar uang ke Terminal Serpong. Kalau tidak, Dede akan dibunuh!" begitu isi SMS yang kuterima.
Aku langsung lemas luar biasa. Aku, Suryani, dan suami, Ujang Dayat, sangat bingung. Memang, sehari sebelumnya (Minggu, 30/5), aku kehilangan Dede. Anak bungsuku itu sempat pulang ke rumah setelah menghadiri acara ulangtahun temannya, tak jauh dari rumah kami. Setelah menyantap beberapa suap hidangan ulang tahun, dia pamit bermain. Kira-kira 30 menit kemudian atau menjelang magrib, aku mencarinya. Tetapi Dede sudah tak kutemukan.
Saat itu terlintas di benak hendak lapor polisi. Tetapi tetangga bilang, kalau hilangnya belum 1 X 24 jam, belum bisa dilaporkan polisi. Akhirnya, kami seisi kampung mencari ke sana-sini. Malam pun menjelang. Aku mulai dilanda kegelisahan memikirkan nasib si bungsu. Entah kenapa, aku amat yakin, Dede diculik.
Ternyata pikiran burukku itu menjadi kenyataan dengan datangnya SMS tadi. Kami langsung lapor ke polisi. Aku tak peduli ancaman si penculik. Saat itu, aku tidak yakin mereka tega menghilangkan nyawa anakku. Kupikir mereka hanya menakut-nakuti saja.
Meski demikian, naluri seorang ibu tetap saja terusik. Hatiku tidak tenang. Aku tak bisa membayangkan seperti apa para penculik itu memperlakukan Dedeku tersayang. Apakah dia diberi makan selama dalam sekapan? Firasat tak enak kembali muncul kala gelang yang kukenakan sehari-hari tiba-tiba putus tanpa sebab. Apakah itu pertanda sesuatu? Saat itu, aku tak berani menduga yang tidak-tidak.
Kendati telah lapor polisi, kami tak tinggal diam. Kami terus mencari Dede. Doa pun terus kupanjatkan. Setiap malam kami mengaji, membaca surat Yasin, memohon agar Tuhan memberi pertolongan kepada kami.
Tetapi ada sesuatu yang aneh. SMS soal penculikan dan minta tebusan itu juga dikirimkan ke tiga tetanggaku. Aku pun mulai curiga, jangan-jangan pelaku penculikan adalah orang sekitar rumahku. Sayangnya, aku tidak bisa menebak apalagi menunjuk siapa orangnya. Sebabnya, nomor HP si penculik tidak kami kenal. Yang jelas, aku sempat membalas SMS itu dan mendapat jawaban, "Situ maunya berapa?" Setelah Pak RT memberi pertimbangan, aku tidak membalas SMS itu lagi.
Oleh karena tak kubalas, si penculik justru menghujaniku dengan lebih dari 20 SMS. Salah satunya mengancam akan menculik anak sulung kami bila permintaan uang tebusan tak dipenuhi.
Pura-pura Mencari
Belakangan, dengan pertimbangan keselamatan jiwa Dede, kami menyiapkan uang tebusan lalu mengantarnya ke Terminal Serpong. Tentu saja setelah berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Mungkin karena salah satu penculiknya orang di lingkungan sendiri, ia memberi informasi mengenai kerjasama kami dengan polisi. Alhasil, rencana menangkap penculik hari itu gagal total.
KOMENTAR