Meski sudah dikarunia dua anak laki-laki, aku masih ingin memiliki anak lagi. Tak ada harapan khusus soal jenis kelamin pada anak ketiga ini. Hanya saja, bila pada kehamilan pertama dan kedua aku rajin minum vitamin, di kehamilan ketiga ini tidak. Vitamin yang diberikan dokter pun tidak rutin kuminum. Kupikir, toh, sudah berpengalaman, jadi semua akan baik-baik saja. Secara psikologis pun, kondisiku bagus meski usiaku saat itu sudah memasuki 36 tahun. Orang bilang, perempuan hamil di atas usia 35 tahun penuh risiko. Namun sejak usia kehamilan sebulan hingga tujuh bulan, aku merasa baik-baik saja.
Selama hamil, aku juga tetap mengajar di sekolah untuk anak-anak warga negara Jepang di kawasan Bintaro. Seperti biasanya pula, setiap kali siswa pulang sekolah, aku wajib mengantarkan anak-anak itu naik ke dalam bus yang akan membawa mereka pulang.
Apakah polusi dari bus itu memengaruhi kehamilanku? Entahlah. Yang jelas, dokter yang memeriksa kandunganku bilang, janinku baik-baik saja. Itu dikatakannya ketika melihat hasil USG tiga dimensi saat kehamilanku berumur tujuh bulan. Oleh karena itu, ketika anakku lahir pada 3 Mei 2006, aku tenang-tenang saja.
Beberapa saat setelah anakku lahir, dokter memberitahu suamiku bahwa anak kami terlahir dengan mengidap DS. Tanda-tandanya antara lain, jarak antara jari pertama dan kedua pada kaki melebar, tengkuknya tebal, lidahnya pun lebih tebal, sela hidung yang datar, dan wajahnya Mongoloid.
Setelah itu, barulah suamiku memberitahuku dengan cara yang unik yaitu melempar pertanyaan, "Tahu, enggak? Anak kita Mongoloid. Enggak apa-apa, kan?" Tanpa prasangka apa pun, aku jawab, "Tidak apa-apa. Tidak masalah."
Namun, lama-lama aku berpikir, Mongoloid itu apa? Aku lalu menelepon seorang teman yang kebetulan dokter anak, minta penjelasan seputar anak Mongoloid. Ia pun menguraikan perihal ciri-ciri Mongoloid (mirip ras Mongolia di Asia Barat, Red.) yang menjadi salah satu ciri anak DS.
Mendengar penjelasannya, yang terbayang di benakku adalah anak yang kuberi nama Abubakar Hamka itu, bakal tumbuh sebagai anak idiot. Aku pun menangis habis, sejadi-jadinya. "Sudahlah, tidak apa-apa. Yang penting ada stimulasinya," hibur temanku kala itu.
(Di dalam buku berjudul Down Syndrome karya Effi diterangkan, sebelum abad 20 anak-anak DS disebut anak Mongoloid. Nama itu diciptakan seorang peneliti berkebangsaan Inggris (1886), Landon Down. Ia menemukan adanya kesamaan bentuk wajah dan ciri fisik pada orang-orang yang terlambat pertumbuhannya. Sayangnya, penyebabnya belum diketahui. Namun, karena raut wajahnya mirip orang Mongolia, anak-anak seperti itu lalu disebut Mongoloid. Kemajuan teknologi kemudian mampu menemukan penyebab lahirnya anak-anak dengan pertumbuhan lambat. Sebutan Mongoloid pun lalu terasa "berbau" rasialis, maka pada 1966 sindroma itu diberi nama Down Syndrome, mengambil nama sang penemu, Landon Down).
Kesedihanku masih terus berlanjut. Setiap kali bertemu dokter yang membantu persalinanku, aku juga menangis. Ketika aku tengah berkutat dengan kesedihanku di ruang perawatan, anakku dibawa ke RS Hermina Daan Mogot, Jakarta, untuk diobservasi. Kami pun berpisah tempat. Aku dirawat di YPK, sementara anakku di Daan Mogot selama dua minggu.
Untuk mengurangi kesedihan, aku sebarkan kabar kelahiran anakku lewat SMS ke teman-teman. Maksudku, agar mereka memberi feedback karena aku ingin tahu lebih banyak lagi soal DS. Aku juga bertanya kepada dokter soal buku referensi mengenai DS. Beruntung, dokterku baik hati. Ia memberiku fotokopi buku-buku itu.
RINI SULISTYATI / bersambung
KOMENTAR