Meski Si Codet sudah tertangkap, keluarga korban tak seketika berpuas hati. "Kami senang pelakunya tertangkap tapi kalau melihat penderitaan anak saya, rasanya meski dihukum mati sekalipun, masih belum cukup mengobati luka batin kami!," kata Fatimah (37), ibu Sus (10) yang ditemui di rumah kosnya yang sangat sederhana di kawasan Monang-Maning.
Kata Fatimah, meski peristiwa kelam itu sudah berlangsung hampir dua bulan lalu, tapi rasa pedih di hati belum kunjung sirna. Akibat perbuatan Si Codet, anak sulungnya yang masih kelas 3 SD harus mengalami perdarahan hebat dan mendapat 25 jahitan. "Sampai sekarang saya masih belum berani melihat baju Sus yang penuh bercak darah bekas pemerkosaan itu," tambah Fatimah dengan mata berkaca-kaca.
Akan halnya bocah perempuan malang itu, tak hanya jiwanya saja yang terguncang. Fisiknya pun masih ringkih. Akibat luka di alat kelaminnya yang begitu parah, Sus terkadang masih meringis menahan sakit ketika akan buang air besar. "Dia berusaha menahan tidak buang air besar karena menghindari agar bekas jahitan tidak terasa sakit. Sementara kalau ditahan terus, kotorannya semakin mengeras dan membuat semakin sakit. Akhirnya jadi serba repot," cerita Fatimah.
Untuk urusan sekolah, sesuai permintaan Sus, ia minta keluar dari sekolahnya di SD Quba'. "Nanti tahun ajaran baru dia ingin sekolah di tempat yang baru. Pokoknya, sekarang saya berusaha mencurahkan segala pikiran dan perhatian pada Sus. Saya juga selalu menemani dia karena kalau sendirian, dia suka ketakutan," ujar Fatimah yang tahu tertangkapnya Si Codet dari salah seorang tetangganya.
Anaknya pun sempat diminta datang ke kantor polisi untuk meyakinkan, memang Si Codet yang melakukan perbuatan biadab kepadanya. "Pulang dari kantor polisi, Sus bilang ke saya, 'Iya, Ma, yang di kantor polisi itu orangnya'."
Siapa gerangan Si Codet? Lelaki kelahiran Lamongan (Jatim) yang berasal dari Dusun Mbeluk ini berasal dari keluarga sederhana dan merupakan bungsu dari 10 bersaudara. Selepas SMP, para tetangga hanya tahu Si Codet meneruskan sekolah di Jombang lalu "merantau" ke Batam dan Bali. Agaknya ia mengikuti jejak kakak-kakaknya yang lebih dulu mengadu nasib di luar desa. Dua kakaknya dikabarkan menjadi TKI di Malaysia dan Arab Saudi. Di Batam pun, sebetulnya karena terpaksa harus tinggal di sana gara-gara terlambat mengurus administrasi untuk menjadi TKI di Singapura. Dari situ, ia baru menyeberang ke Bali.
Yang jelas, selama tinggal di desa, ia dikenal sebagai anak baik-baik sehingga ketika namanya ramai dibicarakan di media massa, penduduk desa itu pun terkejut bukan kepalang. Apalagi keluarga besarnya. Mereka pun enggan berkomentar mengenai terungkapnya kejahatan Si Codet. "Ayah dan Ibu syok sekali dan sudah menyerahkan semuanya kepada yang berwenang. Kalau memang dia salah, biarlah dia menerima hukuman," kata seorang kerabatnya.
Kehadiran Si Codet di Bali sebetulnya belum lama. Ia baru enam bulan menetap di Pulau Dewata dan memiliki profesi sebagai pemijat. Belakangan, ia mengaku juga menyediakan layanan "plus-plus" untuk kaum Adam. "Bukan karena saya gay. Cuma buat cari uang saja," kata pria yang pernah bekerja sebagai tukang las dan memasang tarif Rp 100 ribu untuk pemijatan serta Rp 100 ribu tambahan jika pelanggan ingin diberi layanan "plus-plus" tadi.
Jika ia melayani sesama jenis dengan alasan untuk mencari uang, maka Codet juga punya alasan khusus tentang "hobi"nya memerkosa gadis cilik. Katanya, ia diminta makhluk gaib untuk memerkosa agar bisa tetap hidup setelah mengalami kecelakaan beberapa tahun silam. Akibat perbuatan jahatnya itu pula, di wajahnya terdapat bekas luka alias codet gara-gara dicakar salah seorang korbannya yang mencoba melawan.
Menyesalkah ia? "Ya, kalau ingat, sih, menyesal. Tapi itu, kan, bukan keinginan saya, melainkan roh halus yang membisikkan saya untuk melakukan itu," ungkapnya dengan wajah tanpa ekspresi. Tanpa ragu, Si Codet juga mengakui perbuatannya itu kejam. "Saya juga membayangkan, jika anak saya yang jadi korban, saya pasti sakit hati. Makanya saya layak dihukum yang seberat-beratnya," katanya.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR