Dilihat dari luar, hidupku memang membuat banyak perempuan iri. Aku sering berbelanja barang bermerek, baik di dalam maupun luar negeri, sekaligus keluar-masuk butik terkenal. Malah, aku juga sudah menerbitkan tiga buku tentang Miss Jinjing, ikon ciptaanku yang identik dengan kegiatan belanja.
Namun, di balik segala kemewahan, aku terkadang sedih memikirkan hidupku. Semua kesenangan itu seolah semu. Banyak siksaan yang kualami selama 12 tahun menikah dengan suamiku, AKBP Reinhard Hutagaol. Terkejut? Tapi itulah kenyataan yang harus kuhadapi sehari-hari, di sepanjang usia pernikahan kami.
Aku dan Abang, begitu aku menyapa suamiku, berpacaran sejak aku kelas 2 di SMA 70 Jakarta. Ia adalah kakak kelasku. Saat ia lulus dari Akademi Kepolisian, kami sempat putus karena orangtuaku tak menyetujui hubungan kami. Sempat berpacaran dengan orang lain, namun akhirnya cinta kami terpaut kembali.
Belakangan ini aku sadar, feeling orangtua terhadap anaknya memang kuat. Mungkin selama ini aku bodoh, ya? Padahal, sikap kasar Abang sudah terlihat sejak kami masih berpacaran. Kalau aku bersahabat dengan teman lelaki dan pergi bersama, Abang akan memukuli sampai sahabatku itu babak belur.
Setelah menikah tahun 1998, aku yang tinggal dan besar di Jakarta, tinggal di rumah mertua. Sikap kasar Abang terhadapku muncul ketika anak pertama kami, Alessandro (11), berusia seminggu. Pada masa itu, Abang sering pulang malam sementara aku di rumah sendirian mengurus Ales tanpa pembantu. Mungkin karena lelah, aku marah pada Abang yang pulang malam. Tanpa kuduga, emosi Abang tersulut juga. Plaak! Ia menamparku.
Ketika hamil anak kedua kami, Carlo (8), aku juga pernah ditendang dan dipukul. Namun, aku tidak menceritakan kekerasan yang dilakukan Abang kepada ayah dan ibuku. Tahun 2004, aku mengikuti Abang yang dipindahtugaskan ke Jambi. Di sana, kekerasan demi kekerasan terus terjadi.
Entah kenapa, setiap kali ada masalah dengan pekerjaannya, Abang selalu menyalahkanku sebagai penyebab. Kuakui, aku memang sibuk beberapa tahun terakhir ini. Namun, aku merasa tetap memerhatikan suami dan anak-anakku (anak ketiga Amy bernama Matteo, kini berusia 5 tahun, Red.). Memang, sejak di Jambi, aku mulai menulis untuk mengisi kekosongan waktu. Tanpa diduga, ternyata blogku digemari banyak orang dan kesibukanku sebagai Miss Jinjing pun dimulai.
Tanggal 13 Mei lalu, ia kembali menganiaya aku. Rupanya ia lagi-lagi tidak lulus tes untuk ke sekian kalinya. Entahlah tes untuk kenaikan jabatan atau urusan sekolah. Sampai di rumah, Abang menyalahkanku. Katanya, aku tidak mengurusnya, tak berguna, pembawa sial, serta mabuk popularitas.
Selain menganiaya secara fisik, Abang juga sering mengata-ngataiku sebagai pembawa sial. Aku tak terima! Kukatakan kepadanya, aku mendapat pendidikan cukup tinggi (Amy lulusan S2 Jurusan Komunikasi UI, Red.) dan dari sisi pekerjaan aku berhasil. Jadi. kalau Abang gagal, ya, memang itu apesnya dia. Akhirnya aku bilang, akan pulang ke Jakarta dan menceritakan kepada keluargaku apa yang telah dilakukannya padaku selama ini.
Di hari keberangkatan, aku kembali pamit. Tanpa kuduga, dia langsung menyeretku dari satu kamar ke kamar yang lain, lalu menghajarku dengan tangannya yang kuat. Telinga dan rahangku sakit luar biasa. Begitu Abang lengah, aku langsung berteriak minta tolong, memanggil pembantu dan minta disiapkan mobil. Matteo kubawa dan aku langsung ke rumah sakit untuk melakukan visum. Sejak itu aku tak berani pulang ke rumah.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR